Dan inilah letak masalahnya.
Bila memang pangkal soal adalah membedakan antara PT Djarum dan Yayasan Djarum, perkenankan saya berkomentar.
Baca juga: KPAI Yakin Ada Solusi soal Audisi Djarum jika Semua Berpikir Jernih
Ditilik dari aspek yuridis, biar kita semua mendapatkan gambaran yang obyektif, ada baiknya kita memperlebar sedikit wawasan kita dengan melihat rezim pengaturan lain.
Djarum Foundation sangat berbeda dengan PT Djarum. Yayasan Djarum diatur oleh rezim Undang-Undang No 28 tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
PT Djarum sebagai produser rokok Djarum diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas.
Dalam Undang-Undang Yayasan, jelas dikatakan bahwa yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota.
Kegiatan Yayasan Djarum berada dalam wilayah jelajah sosial, sesuai amanah undang-undang yayasan.
Selanjutnya dijelaskan bahwa yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian yayasan memperoleh pengesahan dari menteri.
Baca juga: Audisi Berhenti karena PB Djarum Enggan Langgar Undang-undang
Dalam konteks ini, menteri yang dimaksud adalah Menteri Hukum dan HAM.
Maka, secara yuridis, PT Djarum dan Yayasan Djarum adalah dua entitas berbeda karena PT Djarum diatur dalam Undang-Undang Perseroan, sementara Yayasan Djarum tunduk pada rezim Undang-Undang Yayasan.
Lantas, siapa yang memiliki kewenangan untuk menentukan perbedaan tersebut?
Jawabnya hanyalah Menteri Hukum dan HAM karena Menteri Hukum HAM yang mengesahkan status badan hukum yayasan. Bukan lembaga atau orang lain.
Malah, dalam undang-undang yayasan secara eksplisit dikatakan bahwa yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya.
Apa solusinya?
Ada baiknya KPAI membawa masalah ini ke ranah hukum saja. Biarlah pengadilan kelak yang memutuskannya. Biar KPAI tidak dipersepsikan sebagai penafsir tunggal dan absolut atas aturan main di republik ini.
Baca juga: Badminton Indonesia, Mau Sampai Kapan Andalkan Ganda Putra?