JEO - Bola

Badminton Indonesia, Mau Sampai Kapan Andalkan Ganda Putra?

Rabu, 13 Maret 2019 | 17:07 WIB

Gelaran All England 2019 yang baru saja usai semakin menahbiskan badminton Indonesia bertumpu ke sektor ganda, terutama ganda putra. Lalu, apa kabar nomor tunggal? Bagaimana pula geliat pebulu tangkis putri? Ada apa?

 

SMASH!! Pukulan menyilang dari Mohammad Ahsan gagal dibendung oleh pasangan Malaysia, Aaron Chia/Soh Wooi Yik, pada final nomor ganda putra All England 2019 di Arena Birmingham, Minggu (10/3/2019) malam.

Pasangan ganda putra Indonesia, Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan pun memastikan gelar juara nomor ganda putra All England kembali menjadi milik Indonesia.

Inilah untuk kali ketiga secara beruntun nomor tersebut menjadi penyumbang satu-satunya gelar dari ajang badminton tertua di dunia itu bagi Indonesia.

"Alhamdulillah, kami bisa kembali juara di sini," kata Ahsan seusai pertandingan.

Bagi pasangan Ahsan/Hendra, ini adalah gelar All England kedua mereka sejak disatukan sebagai pasangan oleh pelatih Herry Iman Pierngadi pada September 2012. Sebelumnya, mereka menjadi yang terbaik di All England pada 2014.

Selepas Ahsan/Hendra dan pasangan ganda campuran Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir menjadi juara All England pada 2014, Indonesia nirgelar pada tahun berikutnya.

Barulah pada 2016, pencinta bulu tangkis Indonesia bisa kembali bersorak setelah pasangan Praveen Jordan/Debby Susanto mempersembahkan satu-satunya gelar dari All England di nomor ganda campuran.

Setelah itu, "ledakan" muncul dari Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo. Pasangan ganda putra itu menjadi yang terbaik di Arena Birmingham, dua tahun berturut-turut, yaitu pada 2017 dan 2018.

Nah, ketika pasangan berjulukan The Minions itu kandas pada babak pertama All England 2019, Ahsan/Hendra menjadi penyelamat muka Indonesia.

Namun, sampai kapan Indonesia mengandalkan sektor ganda putra untuk menyumbang gelar All England? Jangan-jangan, ini tak hanya fenomena di Arena Birmingham pula?

Jejak Indonesia Sebagai Juara All England 1959-2019 (KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI)

 

BERTUMPU
PADA GANDA PUTRA


SEKTOR
ganda, khususnya ganda putra, bisa dibilang merupakan andalan utama Indonesia untuk mendulang gelar di All England.

Sekalipun ada Rudy Hartono yang pernah delapan kali menjuarai nomor tunggal putra di Birmingham, 21 dari 47 gelar—sekitar 44,7 persen—yang diraih Indonesia sepanjang sejarah All England berasal dari nomor ganda putra.

Jumlah itu terlihat mencolok apabila dibandingkan dengan nomor lain seperti tunggal putri (4 kali), ganda putri (2 kali), dan ganda campuran (5 kali).

Cuma nomor tunggal putra yang bisa mendekati pencapaian ganda putra, dengan 15 gelar juara All England. Itu pun, delapan di antaranya didapat oleh Rudy Hartono seorang.

Selepas era kejayaan Rudy Hartono pada 1960-1970-an, gelar tunggal putra terakhir untuk Indonesia di ajang All England dipersembahkan oleh Hariyanto Arbi pada 1994. Sejak itu, tak satu pun gelar tunggal didapat Indonesia, baik di nomor putra maupun putri.

Hingga All England 2019 usai, sudah 25 tahun Indonesia tak punya satu pun gelar dari sektor tunggal di All England, bukan cuma tunggal putra. Pada 1994, untuk kali terakhir pula negeri ini punya juara tunggal putri All England, yaitu Susy Susanti.

Gelar Terakhir Indonesia di Nomor Tunggal All England 1994 - (DOK KOMPAS 20 Maret 1994)

Paceklik gelar baru berakhir ketika Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir menjadi yang terbaik dari nomor ganda campuran pada 2012. Owi/Butet—begitu mereka akrab disapa—sukses mempertahankan gelar tersebut dua tahun berikutnya dan mencatat hat-trick juara.

Baca juga: Perhentian Akhir Liliyana Natsir, Terima Kasih Butet...

Total, antara 1995 dan 2019 atau selama seperempat abad ini, ada 11 gelar juara All England yang diraih atlet Indonesia. Dari jumlah itu, tujuh di antaranya merupakan sumbangan pasangan ganda putra.

Keberhasilan Ahsan/Hendra menjadi juara All England 2019 memang melegakan bagi pencinta bulu tangkis Indonesia. Namun, di sisi lain, keberhasilan itu juga menjadi lampu kuning bagi Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI).

The Daddies, begitu julukan pasangan Ahsan/Hendra, menjadi juara dalam usia 31 tahun dan 34 tahun. Selain itu, prestasi dari sektor tunggal, khususnya tunggal putra, juga tak kunjung membaik. Sektor putri pun butuh sama banyak perhatian untuk pembenahan apalagi kembali mendulang prestasi.

 

NOMOR TUNGGAL PUTRA,
APA KABAR?

PADA All England 2019, Indonesia mengirimkan lima wakil di sektor tunggal, yaitu tiga putra dan dua putri. Namun, hanya satu dari mereka yang sampai ke babak perempat final.

Dua wakil putri, Fitriani dan Gregoria Mariska Tunjung, langsung tersisih pada babak pertama. Mereka sudah langsung bertemu pebulu tangkis unggulan. 

Tiga wakil tunggal putra adalah Anthony Sinisuka Ginting (unggulan ke-8), Jonatan Christie (peringkat ke-9 dunia), serta atlet non-pelatnas Tommy Sugiarto (peringkat ke-11).

Capain terbaik justru datang dari Tommy. Dia melaju hingga babak perempat final.

Langkah putra dari legenda bulu tangkis dunia, Icuk Sugiarto, itu terhenti di hadapan pebulu tangkis peringkat ke-15 dunia, Ng Ka Long Angus. Pebulu tangkis asal Hong Kong tersebut jualah yang menghentikan langkah Anthony Sinisuka Ginting pada babak pertama.

Tommy Sugiarto dalam salah satu penampilannya dalam All England 2019.
DOK PBSI
Tommy Sugiarto dalam salah satu penampilannya dalam All England 2019.

Adapun  langkah Jonatan Christie masih lebih baik daripada Anthony Ginting. Dia melangkah ke babak kedua atau 16 besar sebelum takluk dari unggulan ketujuh, Srikanth Kidambi.

Catatan minor Anthony Ginting dan Jojo Christie inilah yang disorot Taufik Hidayat. Peraih medali emas Olimpiade Athena 2004 itu mempertanyakan konsistensi Anthony dan Jonatan pasca-Asian Games 2018.

"Saya melihat mereka belum stabil untuk menjadi pemain di level atas seperti Kento Momota, Shi Yuqi, atau Viktor Axelsen," kata Taufik Hidayat.

Menurut mantan pebulu tangkis nomor 1 dunia ini, mentalitas dan pola permainan Anthony dan Jonatan masih belum terlalu kuat. Hal itulah yang membuat mereka tak bisa menunjukkan konsistensi prestasi.

1994, gelar terakhir

Gelar terakhir nomor tunggal putra All England menjadi milik wakil Indonesia adalah pada 1994, yaitu melalui Hariyanto Arbi. 

Sejak itu, prestasi terbaik wakil Indonesia di nomor tunggal putra All England adalah finalis. Itu pun hanya terjadi empat kali melalui Hariyanto (1995), Taufik Hidayat (1999, 2000), dan Budi Santoso (2002).

Artinya, sudah 17 tahun, Indonesia tak punya wakil pada final nomor tunggal putra di All England, boro-boro juara lagi.

Masuknya nama Anthony Ginting pada daftar delapan unggulan teratas All England 2019 seharusnya merupakan prestasi. Kali terakhir ada pemain tunggal putra Indonesia yang masuk daftar unggulan adalah Tommy Sugiarto pada 2014. Namun, ternyata langkah Anthony Ginting terhenti cepat. 

Stagnansi prestasi di sektor tunggal itu juga menjadi perhatian Taufik Hidayat. Juara Indonesia Open enam kali itu melihat permainan sektor tunggal putra begitu monoton sehingga PBSI perlu melakukan terobosan baru.

"PBSI harusnya introspeksi diri kenapa tunggal putra Indonesia bisa begini," ucap Taufik. "PBSI harus benar-benar berbenah, dari pelatih hingga pemain. Mereka harus mengejar poin untuk bisa tampil di Olimpiade 2020. Kalau begini terus, mau sampai kapan?" 

 

 SEKTOR PUTRI
LEBIH BIKIN NELANGSA

NASIB sektor putri Indonesia di All England lebih bikin nelangsa lagi, baik di nomor tunggal maupun ganda. Nomor tunggal terakhir kali meraih gelar pada 1994, sementara ganda putri malah sudah 40 tahun tak pernah lagi mendapatkan gelar juara.

Indonesia baru dua kali menjadi yang terbaik pada nomor ganda putri All England. Mereka adalah pasangan Minarni Sudaryanto/Retno Kustijah (1968) dan Verawaty/Imelda Wiguna (1979).

Ironisnya lagi, tak ada lagi srikandi Indonesia yang menjadi ratu bulu tangkis dunia selepas era Susy Susanti—yang antara lain empat kali memenangi tunggal putri All England dan merebut medali emas Olimpiade Barcelona 1992 dari nomor yang sama.

Susy Susanti saat menjuarai tunggal putri bulu tangkis Olimpiade Barcelona 1992 - (KOMPAS/KARTONO RYADI)

Setelah era Susy, prestasi terbaik tunggal putri Indonesia untuk superseries strata tertinggi adalah Maria Kristin pada Indonesia Open 2008, itu pun "cuma" runner-up.

Di sektor ganda, meski tak ada juara di All England, performa para srikandi masih lebih baik. Ada Vita Marissa/Liliyana Natsir serta Greysia Polii yang berpasangan dengan Apriyani Rahayu maupun Nitya Krishinda Maheswari menjadi kampiun di superseries.

"Tunggal putri butuh ikon," kata Manajer Tim PB Djarum, Fung Permadi, salah satu klub bulu tangkis yang getol melahirkan atlet andal, seperti dilansir BolaSport.com, Selasa (6/2/2018).

Menurut Fung, di sektor putri memang yang masih menonjol adalah nomor ganda. Karenanya, kata dia, banyak pemain yang memilih beralih dari nomor tunggal ke ganda.

"Kita butuh ikon seperti Yuni Kartika atau Susy Susanti agar bisa menjadi panutan atlet muda," tuturnya.

Ketidakberdayaan sektor putri ini memang sudah menjadi perhatian dari PBSI. Meski begitu, Susy Susanti yang kini menjadi Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PBSI optimistis sektor putri akan segera bangkit lagi setelah terlelap lebih dari satu dekade.

Ganda putri Indonesia, Greysia Polii dan Apriyani Rahayu bertanding melawan ganda putri Jepang, Misaki Matsutomo dan Ayaka Takahashi pada pertandngan semifinal Daihatsu Indonesia Masters 2019 di Istora Senayan, Jakarta, Sabtu (26/1/2019). Greysia Polii dan Apriyani Rahayu melaju ke babak final setelah mengalahkan ganda putri Jepang.
KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO
Ganda putri Indonesia, Greysia Polii dan Apriyani Rahayu bertanding melawan ganda putri Jepang, Misaki Matsutomo dan Ayaka Takahashi pada pertandngan semifinal Daihatsu Indonesia Masters 2019 di Istora Senayan, Jakarta, Sabtu (26/1/2019). Greysia Polii dan Apriyani Rahayu melaju ke babak final setelah mengalahkan ganda putri Jepang.

"Saya kira ini saatnya untuk bangkit dan tidak ada yang tak mungkin," kata Susy Susanti saat menanggapi keberhasilan Fitriani menjuarai Thailand Masters, Senin (14/1/2019).

Namun, Susy memberikan catatan. "Saya selalu katakan bahwa untuk mewujudkan hal itu harus kerja keras. Juara butuh proses, enggak ada yang instan atau langsung turun dari langit," tegas dia.

Susy pun berharap prestasi Fitriani akan memicu srikandi Indonesia lainnya untuk bangkit. PBSI juga berencana segera mengumumkan pelatih untuk sektor putri, seusai All England 2019.

"Kami masih ketinggalan, jadi harus kerja ekstra keras. Kalau dilihat dari persaingan di tunggal putri, kami harus lebih kuat, lebih berani, lebih fokus. Tetapi, sekarang lebih merata, tak ditebak siapa yang akan juara," ujar Minarti Timur, pelatih interim tunggal putri.

 MAGI ALL ENGLAND

ALL ENGLAND memang bukanlah satu-satunya cabang bulu tangkis bergengsi di kolong langit ini. Bahkan, total hadiah All England senilai 1 juta dollar AS pun lebih rendah dibandingkan Indonesia Open yang membagikan 1,25 juta dollar AS. 

Akan tetapi, All England punya magi yang demikian besar karena berstatus kejuaraan bulu tangkis tertua di dunia. Turnamen ini pertama kali digelar pada 1899 atau sudah berlangsung selama 120 tahun.

"All England disorot salah satunya karena dianggap sebagai turnamen tertua. Keberhasilan Rudy Hartono menjadi juara juga membuatnya semakin populer," kata Taufik Hidayat.

Banyak yang mengatakan bahwa turmamen ini adalah kejuaraan dunia tidak resmi badminton. Wajar apabila kemudian magi All England membuat banyak pebulu tangkis top dunia tertantang untuk menakklukannya.

"Menjadi juara All England adalah impian masa kecil saya," kata pebulu tangkis nomor satu dunia asal Jepang, Kento Momota.

Selain itu, All England merupakan turnamen Super 1000—kasta teratas super series bulu tangkis setelah Perang Bintang World Tour Finals—pembuka pada setiap tahunnya.

Baca juga: All England, dari Buckingham Gate ke Birmingham

Dengan kondisi yang serba fresh karena baru membuka lembaran baru kalender kompetisi, 32 bintang bulu tangkis terbaik dunia dari tiap nomor akan ikut serta.

Kondisi seperti itu kerap hilang pada Indonesia Open atau China Open, dua turnamen Super 1000 lain. Dalam beberapa tahun terakhir, ada saja pebulu tangkis top dunia yang absen pada kedua turnamen tersebut dengan berbagai alasan, terutama cedera.

Hal tersebutlah yang membuat status kejuaraan dunia tidak resmi buat All England muncul. Para atlet bulu tangkis top dunia pasti akan hadir untuk mencatat start positif dalam membuka tahun kalender kompetisi yang baru.

Karena itu jugalah, All England bisa dijadikan patokan awal tentang kesiapan atlet dan negara asal mereka dalam menyongsong dan menjalani turnamen bulu tangkis pada tahun berjalan.

Magi All England, Sejarah All England dan Momentum Capaian Indonesia - (KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI)

Kesuksesan di All England bisa menjadi menjadi acuan prestasi bagi atlet pun menghadirkan rasa ngeri bagi lawan ketika bertanding di turnamen-turnamen selanjutnya. Tengok saja Marcus/Kevin sebagai contoh.

Seusai menjadi juara di All England 2017, pasangan Marcus/Kevin lantas menjadi yang terbaik di India Open dan Malaysia Open, hat-trick. Total tujuh gelar juara diraih The Minions pada tahun itu. Jumlah tersebut meningkat satu gelar juara lagi pada 2018.

Nah, apa yang bisa dipelajari Indonesia dari raihan di All England 2019?