Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andibachtiar Yusuf
Filmmaker & Football Reverend

Filmmaker & Football Reverend

Seni Menerima Kekalahan

Kompas.com - 31/12/2021, 12:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

"ORANG kita itu rindu banget prestasi timnas sepak bolanya," ujar papa saya, lelaki yang memperkenalkan permainan ini sejak saya masih sangat muda. Jamuannya pada keluarga yang datang ke Jakarta adalah Galatama. Saat mudik, ia hampir selalu pergi ke Yogyakarta atau sekitarnya untuk menyaksikan PSIM. 

Sore itu, di tahun 1994, seingat saya untuk pertama kalinya saya melihat Gelora Bung Karno didatangi orang sebanyak itu saat tim nasional bertanding. Seingat saya terakhir adalah menjelang akhir 1980-an ketika Piala Kemerdekaan masih rutin tiap tahun.

Pada 1994, orang-orang datang ke stadion dengan gairah luar biasa ingin menyaksikan anak-anak muda Indonesia yang setahun terakhir menghabiskan hari-hari mereka di Genoa, Italia, untuk mengikuti kompetisi Primavera di sana.

Masih lekat di ingatan saya kejadian sekitar 27 tahun lalu itu ketika orang-orang di sepanjang koridor menuju tribune stadion berulang kali membicarakan kecepatan Kurniawan Dwi Yulianto, gol indah Ismayana Arsyad, kapten Bima Sakti, dan nama-nama lain anggota tim tersebut.

Baca juga: Masa Depan di Tangan Skuad Muda, Timnas Indonesia Bisa Jadi Tim Berbahaya

Papa saya benar, sore itu saya merasakan gairah luar biasa dari orang-orang yang datang ke stadion dan walau jumlahnya tidak memadati penjuru tribune, yang pasti dukungan besar diberikan kepada tim yang sebenarnya adalah tim junior di negeri ini, tim kelompok umur 19 tahun.

Pertandingan melawan Syria sore itu kemudian menghasilkan kekalahan untuk tim Primavera Indonesia—demikian media menyebut tim itu saat itu dan kini—skornya pun telak 0-3. Harapan kemenangan di pertandingan pertama (atas lawan yang saya sudah lupa) mendadak pun sirna dan menjadi kekhawatiran, "Mampukah kita lolos ke babak selanjutnya di turnamen itu," (pertandingan akhir pun gagal dimenangkan dan tim U19 bermateri lulusan Italia itu sama sekali tidak lolos ke mana-mana).

"Kamu sudah sering kan lihat timnas kita kalah? Ya sudah, mungkin memang sebagai orang Indonesia kita harus tahu kalau menerima kekalahan itu juga ada seninya," ujar papa saya ketika kami berjalan kaki keluar dari Kompleks GBK menuju halte bus kota.

"Seni menerima kekalahan." Iya saya masih ingat kalimat itu sampai sekarang, ketika setiap hampir semua orang selalu membicarakan tim nasional kita, ketika kejuaraan resmi sedang berlangsung.

Kita selalu merayakan kemenangan tim nasional tak peduli lawan yang kita kalahkan adalah negeri tanpa catatan sepak bola sama sekali. Memuji aksi para pemain yang turun di pertandingan itu dan kemudian yakin bahwa kita mampu menaklukkan siapa pun di Asia Tenggara dengan kemampuan berlari dan menggocek bola ala pemain kita.

Baca juga: Takluk 0-4 dari Thailand, Timnas Indonesia Menolak Menyerah...

Tentu saya tidak dalam posisi berkisah bahwa sejatinya sepak bola adalah permainan menggerakkan bola ke arah pertahanan lawan dan kemudian mengeksekusinya, bukan membawanya berlari sampai area lawan. Saya lebih tertarik bercerita tentang bagaimana kita ini sebenarnya sama sekali bukanlah bangsa yang dekat dengan prestasi sepak bola.

Semalam sembari ngobrol dan menghabiskan makanan di sebuah kedai di kawasan Wahid Hasyim, saya melihat bagaimana sepak bola kita ternyata masih sangat jauh dengan cara bermain yang bisa dicapai oleh Thailand.

Saya melihat bagaimana para pemain Thailand, yang bisa jadi memang lebih senior daripada kebanyakan anggota tim kita, mampu mengeksploitasi sisi-sisi lemah permainan tim dan menjadikan hal-hal macam itu sebagai kekuatan mereka.

Perbedaan besar antara Chanatip Songkrasin yang bermain di level elite Liga Jepang dipertemukan dengan pemain kasta kedua Liga Korea atau liga kawasan Balkan. Thailand mampu selalu memecahkan masalah dengan cepat ketika persoalan demi persoalan siap mengancam mereka.

Kekalahan semalam bagi saya adalah bagian dari "ritual biasa" yang sudah sering kita terima dari tim yang memang selalu konsisten di regional seperti Thailand. 

Baca juga: Timnas Indonesia Kalah dari Thailand, Posisi Shin Tae-yong Dipastikan Aman

Saya menyalakan gadget saya di tengah meeting semalam sudah dengan kesadaran dan kesiapan bahwa negara saya akan ditaklukkan lawan. Makanya, saya tidak tertarik-tertarik amat untuk bergabung nobar di tengah euforia jadi juara.

Saya sebagai penonton sepak bola rutin dari masa ke masa yang pernah menyaksikan Liga Hongaria atau Slovakia dan bahkan pernah menonton laga Cyprus vs Lithuania sadar bahwa sepak bola kita bukan cuma tidak ke mana-mana, tetapi memang segitu saja dari dulu.

Itulah mengapa 11 tahun terakhir ini jika negara tercinta ini sudah turun ke lapangan, mental saya sudah siap untuk menerima kekalahan. 

"Kita itu jauh lebih baik dari Inggris kok, Cup," ujar Estu Ernesto kawan baik saya yang selalu bercerita tentang sepak bola dan tak ada hal lain lagi "Inggris terakhir juara tahun 1966, kita terakhir kan 1991!" katanya kemudian… Sebuah cara menerima kekalahan yang sungguh layak ditiru.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

5 Fakta Statistik Timnas U23 Indonesia Vs Korea Selatan

5 Fakta Statistik Timnas U23 Indonesia Vs Korea Selatan

Timnas Indonesia
Yonhap Kritik Keras Timnas U23 Korsel: Lemah Bertahan dan Tidak Disiplin!

Yonhap Kritik Keras Timnas U23 Korsel: Lemah Bertahan dan Tidak Disiplin!

Timnas Indonesia
Korsel Takluk dari Indonesia, Arhan Hibur Rekan Setimnya di Suwon FC

Korsel Takluk dari Indonesia, Arhan Hibur Rekan Setimnya di Suwon FC

Timnas Indonesia
4 Fakta Indonesia Vs Korsel: Pulangkan Negara Asal, Ambisi STY Tercapai

4 Fakta Indonesia Vs Korsel: Pulangkan Negara Asal, Ambisi STY Tercapai

Timnas Indonesia
Timnas U23, Lelaki Muda Kokoh dan Jalur Langit

Timnas U23, Lelaki Muda Kokoh dan Jalur Langit

Internasional
Indonesia ke Semifinal Piala Asia U23, Keyakinan STY Terbukti, Punya 'Mantra Sakti'

Indonesia ke Semifinal Piala Asia U23, Keyakinan STY Terbukti, Punya "Mantra Sakti"

Timnas Indonesia
Tebus Kegagalan di Piala AFF U23, Ernando Ingin Juara Piala Asia U23 demi STY

Tebus Kegagalan di Piala AFF U23, Ernando Ingin Juara Piala Asia U23 demi STY

Timnas Indonesia
Momen Ragnar, Jay, dan Thom Haye Nobar Laga Indonesia Vs Korsel

Momen Ragnar, Jay, dan Thom Haye Nobar Laga Indonesia Vs Korsel

Timnas Indonesia
STY Bikin Sepak Bola Korsel Menangis, Beri yang Terbaik untuk Indonesia

STY Bikin Sepak Bola Korsel Menangis, Beri yang Terbaik untuk Indonesia

Timnas Indonesia
Hasil Persib Vs Borneo FC, Catatan Hodak Usai Jungkalkan Juara Reguler Series

Hasil Persib Vs Borneo FC, Catatan Hodak Usai Jungkalkan Juara Reguler Series

Liga Indonesia
Timnas Indonesia Libas Korsel, Shin Tae-yong Disebut seperti Menang KO

Timnas Indonesia Libas Korsel, Shin Tae-yong Disebut seperti Menang KO

Timnas Indonesia
Shin Tae-yong Bicara Kans Indonesia ke Final Piala Asia U23 2024

Shin Tae-yong Bicara Kans Indonesia ke Final Piala Asia U23 2024

Timnas Indonesia
Indonesia Vs Korsel, Kata Pratama Arhan Usai Jadi Penentu Kemenangan

Indonesia Vs Korsel, Kata Pratama Arhan Usai Jadi Penentu Kemenangan

Timnas Indonesia
Rafael Struick: Hari Ini Kalahkan Korsel, Ayo ke Paris Tuliskan Sejarah!

Rafael Struick: Hari Ini Kalahkan Korsel, Ayo ke Paris Tuliskan Sejarah!

Timnas Indonesia
Dua Tim Juara Calon Lawan Indonesia di Semifinal Piala Asia U23 2024

Dua Tim Juara Calon Lawan Indonesia di Semifinal Piala Asia U23 2024

Timnas Indonesia
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com