LAGI.... untuk kali ke sekian Indonesia gagal merebut medali emas cabang olahraga sepak bola di ajang Sea Games.
Kamis (20/5/2022) sore, “Merah-Putih’ kalah 0-1 dari Thailand di babak semifinal Sea Games 2021 yang berlangsung di Vietnam.
Kegagalan di Sea Games Vietnam menjadi duka ganda sepak bola Indonesia setelah di AFF Cup 2020 di Singapura, Tim Garuda juga kalah oleh Thailand di partai final.
Sepanjang perhelatan Sea Games, Indonesia baru dua kali memperoleh medali emas. Pertama, 1987 saat berlangsung di Jakarta. Indonesia menang 1-0 atas Malaysia.
Kedua, 1991 di Manila, Indonesia menang adu penalti 4-3 atas Thailand sekaligus kali terakhir menjadi juara di tingkat Asia Tenggara. Artinya, 31 tahun kita harus ‘puasa’ menjadi juara.
Kalah dan menang dalam sebuah pertandingan olahraga merupakan hal yang wajar. Sikap sportif wajib dijunjung tinggi oleh seluruh atlet.
Namun rupanya ada pengecualian untuk cabang olahraga sepak bola. Bagi sebagian orang, sepak bola seolah menjadi agama kedua. Demikian pula dengan masyarakat Indonesia.
Ketika tim nasional Indonesia menang, mereka ikut senang dan bangga. Ketika tim nasionalnya kalah, mereka ikut bersedih.
Tak jarang dukungan yang diberikan sudah di luar akal sehat dalam mengorbankan apa saja yang dimiliki.
Di masa penjajahan, sepak bola menjadi alat pemicu nasionalisme dan pemersatu bangsa Indonesia. Sepak bola menjadi mode perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajah.
Berdiri pada 19 April 1930 di Yogyakarta, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) menjadi wadah bagi pemuda-pemuda pribumi untuk melakukan perlawanan menghadapi penjajah Belanda melalui medium sepak bola.
Saat itu sepak bola menjadi olahraga sangat populer dan digemari oleh banyak pemuda yang hampir setiap hari memainkan si kulit bundar.
Pemerintah Hindia Belanda memiliki organisasi sepak bola yang bernama Nederlandsche Indische Voetbal Unie (NIVU).
“Nasionalisme’ masyarakat terhadap tim nasional sepak bola Indonesia seolah tak berbalas dengan prestasi sepadan.
Meski sudah mendatangkan pelatih asing kaliber internasional seperti Luis Milla dari Spanyol dan Shin Tae Yong dari Korea Selatan dengan jumlah bayaran yang fantastis, prestasi itu tak kunjung hadir ke pangkuan ibu pertiwi.
Rupanya permasalahan tak berprestasinya sepak bola Indonesia saat ini tidak melulu dikarenakan soal teknis dan strategi.
Ada hal mendasar yang lebih perlu dibenahi di tingkat pembinaan, yakni teknik dasar, mental dan fisik.
Kita semua sudah mengetahui bagaimana kali pertama Shin Tae Yong melatih tim nasional Indonesia.
Dia mengeluhkan hampir seluruh penggawa tim nasional masih salah tentang cara melakukan passing ball, mengontrol bola, hingga cara menendang.
Atau bagaimana dulu pada tahun 1991, pelatih tim nasional yang diimpor dari Uni Soviet, Anatoly Polosin dan asistennya Vladimir Urin menggarap fisik dan mental pemain sebagai fokus utama yang harus dibenahi sebelum menyentuh tentang strategi permainan.
Kurangnya jumlah pelatih berkualitas menjadi kendala sehingga pembinaan usia muda di Indonesia tidak berjalan dengan baik.