Instruktur kursus kepelatihan lisensi AFC Emral Abus pernah mengungkap fakta jika jumlah pelatih asal Indonesia yang memiliki lisensi AFC berjumlah sekitar 5.000-an saja. Dari jumlah tersebut, hanya 21 orang yang memiliki lisensi Pro AFC.
Bandingkan dengan Jepang yang memiliki lebih dari 1.000 orang pelatih berlisensi Pro AFC.
Akibat jumlah pelatih berlisensi Pro AFC yang over kuota tersebut, banyak pelatih-pelatih Jepang yang rela ‘turun gunung’ ke level-level pembinaan usia dini dan sekolah-sekolah.
Dampaknya, sejak usia dini pemain-pemain Jepang sudah memperoleh pengajaran teknik dasar yang mumpuni dan dilatih langsung a la klub-klub kasta tertinggi di kompetisi Jepang.
Penjelasan Emral Abus tersebut seharusnya bisa menjadi cermin bahwa sepak bola Indonesia jauh tertinggal.
Jangan dibandingkan dengan Brasil, Jerman, atau negara-negara langganan Piala Dunia. Dengan Vietnam dan Thailand saja kita sudah tertinggal beberapa step dalam prestasi.
Bahkan jika tidak segera berbenah, negara seperti Laos, Kamboja dan Timor Leste bakal bisa mengangkangi sepak bola Indonesia beberapa tahun ke depan.
Lalu, apa yang sudah dilakukan PSSI selama ini untuk memperbaiki kondisi ini? Kita harus mengakui bahwa di era kepengurusan M. Iriawan atau akrab disapa Iwan Bule, belum ada perubahan yang visioner tentang pembinaan sepak bola Indonesia.
Baik terhadap pemain (terutama pemain muda), klub, hingga jalannya roda kompetisi yang tepat untuk Indonesia.
Jepang sudah pernah merebut medali perunggu Olimpiade Meksiko 1968, tapi tim nasional Jepang masih kesulitan berprestasi di level internasional.
Beberapa kali mereka gagal menembus putaran final Piala Asia serta kerap kalah dari Indonesia ataupun Malaysia di Turnamen Merdeka Games di Malaysia.
Mereka berbenah. Studi banding ke beberapa negara lain untuk meningkatkan kualitas sepak bola Jepang, termasuk ‘belajar’ ke Indonesia.
Nama Ricky Yacob, striker tim nasional Indonesia era 1980-an dan beberapa bintang lain didatangkan untuk bermain di Japan Soccer League (JSL) dan membantu perkembangan sepak bola di sana. J-League pun konon diadopsi dari kompetisi sepak bola Indonesia (Galatama).
Jepang melihat bahwa model kompetisi Galatama yang hampir seluruhnya melibatkan perusahaan-perusahaan besar merupakan sistem yang baik untuk sepak bola.
Model ini terus mereka pertahankan hingga sekarang meski ada beberapa variasi peraturan yang ditambahkan.
Salah satunya adalah pembinaan usia muda. Dana sponsor perusahaan yang masuk harus digunakan klub untuk pengembangan akademi dan tim junior.
Salah satu yang fenomenal di Jepang adalah kompetisi sepak bola antar SMA yang rutin digelar setiap tahun.
Taisei Marukawa, legiun asing asal Jepang yang merumput di kompetisi Liga 1 Indonesia merupakan salah satu jebolan kompetisi antar SMA di negeri sakura itu.
Belgia pernah mengalami periode keterpurukan prestasi sepak bola negaranya. Di era 2000-an pascapensiunnya Enzo Scifo, Belgia tak punya lagi pemain kelas dunia dan prestasi tim nasionalnya terus melorot.
Adalah Michael Sablon, yang saat itu menjadi Direktur Teknik federasi sepak bola Belgia. Ketika menyadari bahwa prestasi tim nasional Belgia semakin terpuruk, Sablon segera membuat blue print pembinaan sepak bola Belgia.
Ia berupaya mengubah cara pandang klub-klub di Belgia mengenai pembinaan pemain usia muda, taktik bermain, dan manajerial klub-klub Liga Belgia.