Apakah mereka peduli pada dampak konten yang disampaikan ke publik?
Ketika harapan itu membesar dan semakin besar, sejarah yang diciptakan para pemain di Piala Asia U23 tak cukup untuk meredam kekecewaan. Awalnya dianggap pahlawan, kini berbalik menjadi target makian.
Pada fase ini, kita butuh mendalami makna suporter sepak bola. Kekecewaan terhadap penampilan pemain di lapangan pada satu pertandingan bukan berarti mengizinkan suporter menumpahkan segala caci-maki pada yang bersangkutan. Ingat, perjuangan belum selesai!
Masyarakat Indonesia memang gila sepak bola. Apes, kita pun dikenal sebagai hakim atas segala hal dan mudah berbalik arah membawa sumpah serapah. Tentu bukan ini alasan kita mencintai sepak bola.
"Sepak bola bukan permainan dua orang, permainan 11 orang. Kembali bermain sebagai tim."
Itulah kalimat kekecewaan sekaligus permintaan Ketum PSSI, Erick Thohir, di kamar ganti Stadion Abdullah bin Khalifa, Doha. Sang pemimpin masih mencoba membangun harapan untuk habis-habisan di laga terakhir kesempatan meraih tiket Olimpiade 2024.
Dengan tarikan garis bibir kecewa dan tangan bersilang di dada, di belakang Erick ikut hadir di kamar ganti Ketua Komite Olahraga Indonesia (KOI), Raja Sapta Oktohari.
Ruang kamar ganti Garuda Muda di Stadion Abdullah bin Khalifa tak hanya berisikan kumpulan pemuda yang kecewa dengan peluh masih mengucur dan otot-otot letih.
Ruang itu juga diisi oleh kekecewaan petinggi pengurus olahraga sambil berusaha membangun narasi bahwa kesempatan itu masih ada. Sayang, di ruang itu pun selalu ada tim pembuat konten dengan tujuan tertentu.
Disengaja atau tidak, masyarakat Indonesia diperlihatkan wajah Ketum PSSI yang tak bisa menutupi kekecewaan gagal mengatasi Irak dan ekspektasi yang besar untuk mempersembahkan tiket Olimpiade di era kepengurusannya.
Upaya untuk mengangkat kembali kepala para pemain tidak sama dengan yang dipahami netizen Indonesia. Ucapan Ketum PSSI dimengerti sebagai sindiran ke pemain yang oleh netizen kadung dicap tampil egois.
Lalu, kita dengan mudah menghakimi satu dari dua skuad Garuda Muda yang selalu tampil sebagai starter dan tak pernah tergantikan dalam 6 laga Piala Asia U23.
Tidakkah tanggal 9 Mei 2024 itu sangat dekat untuk diganggu oleh kebiasaan kita di media sosial?
Bagi saya, adalah lebih baik bagi pemain kita untuk sementara waktu menjauh dari media sosial hingga tugas selesai di INF Clairefontaine, Perancis, ketika menghadapi Guinea.
Meladeni netizen saat fokus perhatian benar-benar dibutuhkan dalam persiapan menghadapi lawan merupakan pilihan yang tidak bijak. Pertarungan di media sosial tidak memiliki aturan, etika, maupun waktu.
Sepak bola telah mengajarkan kita untuk saling menghargai, termasuk hasil pertandingan dan proses perjuangan itu sendiri. Kekecewaan tak perlu menorehkan luka, apalagi berujung berbalas cela.
Saat ini, yang kita butuhkan adalah bersama-sama membangun asa, bukan menebar prahara alias badai yang akan merusak sayap-sayap Garuda Muda. Salam #bolauntukkebaikan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.