Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Asa dan Prahara Garuda Muda

Olimpiade 2024. Setelah gagal mencapai final Piala Asia U23, agenda yang muncul dalam benak pencinta sepak bola di Tanah Air adalah meraih tiket cabang sepak bola putra di Olimpiade Paris 2024.

Dua kesempatan gagal setelah Garuda Muda kalah di semifinal dan perebutan tempat III AFC U-23 Asian Cup 2024. Asa tersisa ada di lapangan sepak bola Institut national du football de Clairefontaine yang biasa dikenal dengan sebutan INF Clairefontaine.

Kamis, 9 Mei 2024, Garuda Muda akan mencoba kesempatan ketiga menggapai tiket Olimpiade 2024. Tim asuhan Shin Tae-yong akan menghadapi peringkat 4 Piala Afrika U23 2023: Guinea (baca: Gini).

Masihkah narasi-narasi berbau optimistis yang sebagian diikuti euforia bakal meramaikan kehidupan dunia maya kita?

Setelah publik Nusantara terpecah tiga dalam konstelasi politik di Pemilu 2024, aksi Garuda Muda menyatukan perbedaan pandangan itu dalam harapan bersama.

Kembali, sepak bola memperlihatkan kekuatan sihirnya. Sepak bola merekatkan perpecahan dan mendekatkan kita pada kebaikan.

Ombak pemberitaan

Di era semua orang menjadi content creator dan kejayaan media sosial, istilah "riding the wave" memperlihatkan betapa sepak bola sangat kuat pengaruhnya dalam kehidupan kita.

Banyak orang ingin ambil bagian dan memanfaatkan besarnya perhatian masyarakat terhadap penampilan Garuda Muda di Qatar 2024. Ketika ratusan juta mata anak bangsa memandang sepak bola, saat itulah promosi diri gratis digencarkan lewat berbagai konten.

Tidak seperti negara peserta lain, kita seolah heboh sendiri. Kerinduan akan prestasi sepak bola, terutama tim nasional senior, ditumpahkan pada Rizky Ridho dkk.

Sebagai negara debutan, keberhasilan mengalahkan Australia, Yordania, dan Korea Selatan menempatkan kita sejajar dengan negara-negara pelanggan Piala Asia, meski di kategori usia di bawah 23 tahun.

Heboh sendiri? Ya, bukan hanya tentang aksi di lapangan, keriuhan juga menyentuh materi pro-kontra kebijakan naturaliasi dan diaspora era Shin Tae-yong. Padahal, tim yang dibicarakan sedang bertanding membawa nama negara.

Hakim yang Kecewa

Kini, sorot perhatian kita berbelok arah. Dari yang seharusnya membedah kekuatan Guinea dan membangun kisah-kisah penuh harapan, mengarah pada konflik antara suporter dan pemain Garuda Muda.

Usai kekalahan dari Irak, sejumlah suporter Garuda Muda tidak lagi menjadi kelompok yang memberikan dukungan atau sokongan. Sebagian dari mereka menjadi hakim atas kegagalan pada kesempatan kedua meraih tiket Olimpiade.

Lalu, para content creator mengambil papan seluncur dan bermain-main di atas ombak perhatian dan pemberitaan.

Apakah mereka peduli pada dampak konten yang disampaikan ke publik?

Ketika harapan itu membesar dan semakin besar, sejarah yang diciptakan para pemain di Piala Asia U23 tak cukup untuk meredam kekecewaan. Awalnya dianggap pahlawan, kini berbalik menjadi target makian.

Pada fase ini, kita butuh mendalami makna suporter sepak bola. Kekecewaan terhadap penampilan pemain di lapangan pada satu pertandingan bukan berarti mengizinkan suporter menumpahkan segala caci-maki pada yang bersangkutan. Ingat, perjuangan belum selesai!

Masyarakat Indonesia memang gila sepak bola. Apes, kita pun dikenal sebagai hakim atas segala hal dan mudah berbalik arah membawa sumpah serapah. Tentu bukan ini alasan kita mencintai sepak bola.

Dampak konten Ketum

"Sepak bola bukan permainan dua orang, permainan 11 orang. Kembali bermain sebagai tim."

Itulah kalimat kekecewaan sekaligus permintaan Ketum PSSI, Erick Thohir, di kamar ganti Stadion Abdullah bin Khalifa, Doha. Sang pemimpin masih mencoba membangun harapan untuk habis-habisan di laga terakhir kesempatan meraih tiket Olimpiade 2024.

Dengan tarikan garis bibir kecewa dan tangan bersilang di dada, di belakang Erick ikut hadir di kamar ganti Ketua Komite Olahraga Indonesia (KOI), Raja Sapta Oktohari.

Ruang kamar ganti Garuda Muda di Stadion Abdullah bin Khalifa tak hanya berisikan kumpulan pemuda yang kecewa dengan peluh masih mengucur dan otot-otot letih.

Ruang itu juga diisi oleh kekecewaan petinggi pengurus olahraga sambil berusaha membangun narasi bahwa kesempatan itu masih ada. Sayang, di ruang itu pun selalu ada tim pembuat konten dengan tujuan tertentu.

Disengaja atau tidak, masyarakat Indonesia diperlihatkan wajah Ketum PSSI yang tak bisa menutupi kekecewaan gagal mengatasi Irak dan ekspektasi yang besar untuk mempersembahkan tiket Olimpiade di era kepengurusannya.

Upaya untuk mengangkat kembali kepala para pemain tidak sama dengan yang dipahami netizen Indonesia. Ucapan Ketum PSSI dimengerti sebagai sindiran ke pemain yang oleh netizen kadung dicap tampil egois.

Lalu, kita dengan mudah menghakimi satu dari dua skuad Garuda Muda yang selalu tampil sebagai starter dan tak pernah tergantikan dalam 6 laga Piala Asia U23.

Tidakkah tanggal 9 Mei 2024 itu sangat dekat untuk diganggu oleh kebiasaan kita di media sosial?

Bagi saya, adalah lebih baik bagi pemain kita untuk sementara waktu menjauh dari media sosial hingga tugas selesai di INF Clairefontaine, Perancis, ketika menghadapi Guinea.

Meladeni netizen saat fokus perhatian benar-benar dibutuhkan dalam persiapan menghadapi lawan merupakan pilihan yang tidak bijak. Pertarungan di media sosial tidak memiliki aturan, etika, maupun waktu.

Sepak bola telah mengajarkan kita untuk saling menghargai, termasuk hasil pertandingan dan proses perjuangan itu sendiri. Kekecewaan tak perlu menorehkan luka, apalagi berujung berbalas cela.

Saat ini, yang kita butuhkan adalah bersama-sama membangun asa, bukan menebar prahara alias badai yang akan merusak sayap-sayap Garuda Muda. Salam #bolauntukkebaikan.

https://bola.kompas.com/read/2024/05/05/06000098/asa-dan-prahara-garuda-muda

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke