Dari 25 pertandingan, Leicester hanya bisa menang lima kali, sisanya seri enam kali dan kalah 14 kali, dengan raihan total 21 poin, unggul satu angka dari Hull City yang menempati batas terakhir degradasi.
Leicester kesulitan mengulang aksi heroik musim lalu. Hilangnya pekerja keras di lini tengah, N'golo Kante, menurunnya performa pemain andalan seperti Vardy dan Mahrez, serta kurangnya kedalaman skuad karena turut serta dalam Liga Champions, dinilai menjadi faktor kemerosotan Leicester.
Hingga akhirnya, keputusan itu pun tercuat. Kamis, 23 Februari 2017, Ranieri harus menerima kenyataan pahit. Pihak klub membuat keputusan berani dengan memecat Ranieri sebagai manajer.
"Leicester City Football Club telah berpisah dengan Claudio Ranieri. Ranieri diangkat sebagai manajer pada Juli 2015, memimpin klub menuju kejayaan terbesar dalam 133 tahun sejarah klub dengan gelar juara Premier League untuk kali pertama," bunyi pernyataan klub.
"Statusnya sebagai manajer tersukses Leicester City sepanjang masa tidak diragukan. Akan tetapi, hasil di liga domestik telah menempatkan klub sebagai peserta Premier League dalam ancaman dan dewan secara berat hati merasa perlu adanya perubahan di level kepemimpinan," lanjut pernyataan itu.
Before Leicester, the last reigning top-flight champion to lose 5 league games in a row were Chelsea in March 1956https://t.co/Jo5rlDdGH4 pic.twitter.com/yFJ2DsOJo6
— BBC Sport (@BBCSport) 23 Februari 2017
Fakta ini seolah kembali mengingatkan publik akan "kejamnya" dunia sepak bola pada era modern ini. Insan sepak bola bisa mengingat hal yang serupa pernah dialami Jose Mourinho (kini Manajer Man United).
Ketika kembali ke Chelsea, pada musim 2014-2015, Mourinho berhasil membawa klub milik Roman Abramovich itu menjuarai Premier League.