KABAR duka datang dari sepak bola Indonesia, Sani Tawainella hembuskan napas terakhir pada Rabu, 28 Juni 2023, pukul 13.00 WIT, karena stroke.
Sosok yang kerap dipanggil Kaka Sani ini termasuk legenda sepak bola Indonesia. Ia adalah aktor utama munculnya bibit-bibit terbaik sepak bola khususnya dari daerah tempat asalnya, Maluku.
Tidak saja di sepak bola, Sani juga dianggap turut memberikan arti penting dalam upaya meretas perdamaian dan mempererat kohesi sosial di Maluku pascakonflik yang pernah melanda kepulauan itu.
Sosoknya yang menginspirasi diperankan dengan apik oleh Chiko Jeriko yang kemudian menjadi film terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2014 itu, mengisahkan tentang bagaimana Sani memajukan sepak bola dan turut membawa perdamaian.
Sani adalah mantan pemain sepak bola yang sempat mewakili Indonesia pada piala pelajar Asia 1996 di Brunei Darussalam, namun kemudian gagal menjadi pemain profesional setelah sebelumnya tak lolos dalam seleksi PSSI Baretti.
Gagal menembus skuad PSSI, Sani akhirnya memutuskan pulang kampung dan menikah pada 1999. Ia kemudian bekerja sebagai tukang ojek pada awal 2000-an, ketika konflik sedang berlangsung di Maluku.
Sani sebagaimana dikisahkan dalam film CDT, seperti kebanyakan masyarakat Maluku, terutama di Pulau Ambon berusaha tetap menjalani kehidupan di tengah situasi yang kian sulit dan serba kekurangan, apalagi konflik masih berkecamuk.
Di tengah upaya dan kerja keras menghidupi keluarga dalam kondisi yang tidak menentu, Sani kemudian membentuk pelatihan sepak bola, antara lain untuk menghindarkan anak-anak dari keterlibatan atas konflik sosial yang terjadi.
Sani percaya sepak bola bisa menjadi ingatan baik untuk anak-anak sebagaimana pengalaman masa kecilnya. Selain ingatan mereka atas situasi konflik yang berlarut-larut, ada hal baik yang perlu mengisi memori kolektif anak-anak itu.
Awalnya ide Sani itu dianggap aneh dan dilihat dengan sebelah mata. Ada yang menganggap yang ia lakukan itu sia-sia, karena situasi belum benar-benar kondusif, untuk sekadar makan saja susah, buat apa urus sepak bola.
Namun Sani tak patah arang, ia terus bertahan, melatih anak-anak didiknya dengan turut menanamkan nilai-nilai persaudaraan, kasih sayang dan saling mengasihi. Sesuatu yang kontras dengan realitas konflik saat itu.
Pada 2006, Sani ditunjuk menjadi pelatih kepala untuk membawa kesebelasan Maluku berlaga di kompetisi nasional U-15. Sekalipun mewakili wilayah konflik yang masih segregatif, tim yang dibentuk Sani tetap bermaterikan pemain berlatar agama berbeda.
Menjadi hal yang tentu saja tidak mudah. Perbedaan yang ada, dengan latar konflik dan ego dari masing-masing pemain dan tim pelatih, ternyata memang menjadi kendala, apalagi saat tim itu berangkat dan mengikuti berkompetisi.
Namun semua itu bisa diatasi Sani sebagai seorang pelatih. Sani terus menyemangati pemain untuk bersatu dan memberikan yang terbaik bagi Maluku yang sedang dalam proses berdamai.