Terutama di final, saat Maluku berhadapan dengan DKI Jakarta, dalam pertandingan yang berlangsung sengit, di ruang ganti Sani memotivasi pemainya untuk kompak dan tinggikan semangat.
Tim muda Maluku akhirnya berhasil menjadi juara secara dramatis setelah menaklukan tim ibu kota lewat drama adu pinalti yang menegangkan di Stadion Jalak Harupat Bandung.
Pertandingan final itu semakin memberi dampak pada perdamaian dan kohesi sosial masyarakat Maluku karena disiarkan secara langsung oleh TVRI. Sehingga masyarakat di Maluku ikut nonton bareng.
Siaran langsung pertandingan yang melewati waktu normal itu terpaksa terhenti karena telah lewat durasi jam penayangan di televisi. Masyarakat pun mencari informasi mengenai hasil pertandingan lewat telepon seluler yang waktu itu masih susah sinyal.
Mengetahui tim Maluku menang, informasi kemenangan disambut suka cita dan diteruskan melalui pengeras suara di masjid maupun gereja. Sesuatu yang membawa atmosfer perdamaian.
Belakangan sebagian alumni skuad tim U-15 tahun yang dibawa Sani sukses menjadi pemain profesional di berbagai klub tanah air, bahkan ada yang dikontrak klub luar negeri, juga memperkuat tim nasional Indonesia.
Mereka antara lain; Alfin Tuasalamony, Hendra Bayauw, Rizky Pellu, Pangky Pasamba, Pingky Pasamba, Kasim Tuasalamony, Ami Dida, Riskandi Lestaluhu, Akbar Marasabessy, Harir Lestaluhu, Sedek Sanaky, Fahmi Kotta, Irsal Lestaluhu, Pando, Asrul Risahondua, Imran Lestaluhu, Rizky Tawainella, Syaiful Ohorella dan Salim Ohorella
Kisah Sani tentu saja menjadi catatan penting karena tim Maluku yang dikomandoinya melibatkan dua komunitas yang sebelumnya bertikai. Konflik yang kerap terjadi dalam tim kerana perbedaan justru disikapi dengan baik dan membawa optimisme.
Sani menguatkan semangat para pemain sepak bola muda dan juga pada komunitas Maluku yang lebih luas untuk hidup toleran, setelah tragedi yang menimpa kehidupan mereka pada masa lalu. Bahwa sepak bola mestinya mempersatukan.
Sani menekankan untuk anak-anak didiknya bahwa sepak bola bukan hanya soal menang atau kalah, bukan sekadar 2 x 45 menit di lapangan hijau. Namun lebih dari itu dan terpenting adalah tentang persaudaraan dan perdamaian dalam kehidupan.
Atas dedikasinya terhadap olahraga dan perdamaian, Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) pada 30 Desember 2014, memberikan piagam penghargaan kepada Sani sebagai Rekonsiliator Konflik Maluku Melalui Sepak Bola.
Selanjutnya Kemenpora juga memberikan Sani penghargaan sebagai Tokoh Inspiratif Bidang Olahraga pada peringatan Hari Olahraga Nasional ke-34, di Stadion Moch Soebroto, Kota Magelang, Jawa Tengah, 9 September 2017.
Sani hingga akhir hanyatnya masih tetap dan terus melatih. Ia memilih untuk melatih pemain usia dini di kampung halamanya Negeri Tulehu, yang memang dikenal atau dijuluki sebagai kampung sepak bola.
Sekalipun ada banyak tawaran untuknya mengambil lisensi kepelatihan yang lebih tinggi dan melatih klub profesional, Sani lebih memilih melatih usia dini, karena dirinya percaya hanya lewat berlatih sejak usia dini, pemain berkualitas dapat dihasilkan.
Itu pula mengapa Sani sebelumnya memberikan kritik terhadap program naturalisasi pemain yang saat ini gencar dilakukan PSSI. Menurut Sani, hal itu bak dua sisi mata uang, bisa menguntungkan dalam jangka pendek, namun tidak untuk jangka panjang.