“Ini adalah momen di mana kami semua sama. Ada orang yang tidak punya apa-apa, tapi dengan sepak bola mereka bisa merayakannya... tidak ada kelas sosial, tidak ada masalah ekonomi. Bagi saya, itulah sepak bola,” katanya.
Saat ini, memang, Argentina tengah dibelit krisis ekonomi berat. Di saat rakyat merayakan kemenangan kesebelasan Argentina atas Prancis di Stadion Lusail, Doha Qatar, rakyat menghadapi kesulitan hidup.
Sesaat, kemenangan Lionel Messi dan kawan-kawan atas Kylian Mbappe dan kawan-kawannya lewat pertandingan yang begitu dramatis, naik dan turun begitu menegangkan bak roller coaster, inflasi juga melaju.
Menurut Bloomberg.com, inflasi tahunan diproyeksikan mencapai 99 persen bulan ini. Para ekonom bahkan memperkirakan angka inflasi akan tembus 100 persen.
Baca juga: Lautan Manusia di Buenos Aires Rayakan Kesuksesan Argentina Juara Piala Dunia 2022
Kondisi seperti ini seperti pada tahun 1986 tatkala Diego Maradona memimpin albiceleste merebut gelar juara dunia. Saat itu, inflasi rata-rata mencapai 116 persen.
Sebelunnya, pada tahun 1978, saat Argentina menjadi tuan rumah dan merebut kursi juara, angka inflasi mencapai 176 persen. Piala Dunia ketika itu dimanfaatkan oleh rejim militer di bawah pimpinan Jenderal Jorge Rafael Videla untuk kepentingan politiknya; untuk menutupi kekejaman rejimnya; untuk "menghipnotis" rakyatnya yang hidup dalam kondisi ekonomi yang buruk (thesefootballtimes.co)
Jenderal Videla, seperti Juan Peron yang berkuasa sebelumnya, menggunakan Piala Dunia sebagai upaya untuk menutupi Dirty War atau Guerra Sucia (Spanyol) adalah "pembasmian" oleh diktator militer (1976-1983) yang disebut Proses Reorganisasi Nasional dengan menyingkirkan lawan-lawan politik sayap kiri. Diperkirakan antara 10.000 dan 30.000 warga tewas; banyak dari mereka “dihilangkan”—ditangkap oleh pihak berwenang dan tidak pernah terdengar kabarnya lagi.
Ini yang kemudian hari melahirkan protes kelompok hak asasi manusia, kaum ibu di Plaza de Mayo di depan Istana Presiden Casa Rosada. Mereka menuntut keadilan atas hilangnya suami, anak, kerabat, dan keluarga mereka selama Dirty War. Protes itu dilancarkan sejak 30 April 1977, hingga kini.
Di Argentina, sepak bola, memang, obat yang paling manjur untuk mengatasi sakit ekonomi; sepak bola hiburan paling mujarab untuk menghapus duka lara; sepak bola ibarat setetes embun pagi yang menyusup ke kerongkongan yang sudah kering; sepak bola adalah agama mereka.
Kata Leonel (52), seorang konsultan kepada Le Monde (17/12), "Di negeri kami, di rumah, sepak bola seperti agama. Dimulai dari masa kanak-kanak, itu adalah sesuatu yang kami sukai. Tim nasional kami adalah salah satu dari sedikit faktor pemersatu di negara yang masih terbagi antara Peronis dan anti-Peronis [dinamai menurut mantan Presiden Juan Peron (1895-1974) yang menjadi presiden (1946–52, 1952–55, 1973–74; cita-citanya dilanjutkan istrinya Isabela Peron yang jadi presiden 1974-1976 sampai digulingkan militer)]."
Dulu ketika berkuasa (thesefootballtimes.co) Juan Peron menggunakan sepak bola sebagai alat politik untuk mencari dukungan rakyat. Campur tangan pemerintah terhadap sepak bola di zaman Peron, mencapai puncaknya. Perón melihat potensi untuk memanfaatkan energi positif olahraga (sepak bola) untuk memajukan citra, kebanggaan, dan persatuan nasional.
Rakyat Argentina masih ingat, Argentina memenangi Piala Dunia terakhir tahun 1986, tepat tiga tahun setelah berakhirnya diktator militer (1983) dengan terpilihnya Raul R Alfonsin, seorang pengacara, sebagai presiden pada 10 Desember 1983. Raul R Alfonsin menjadi presiden pertama bahkan di Amerika Selatan yang mengadili militer karena melanggar HAM (oxfordre.com).
Sekarang ini, kemenangan Argentina juga memahkotai kaum Peronis (basis dukungannya dari Serikat Buruh, kelas pekerja, dan kaum miskin) yang berkuasa lagi setelah terpilihnya Alberto Fernandez dan Cristina Fernandez de Kirchner, pada 27 Oktober 2019, sebagai presiden dan wakil presiden.
Alberto Fernandez didukung koalisi Frente de Todos (Fron untuk Semua), Partai Peronis bagian dari koalisi ini.
Argentina dipandang sebagai salah satu negara demokrasi paling stabil. Meskipun pemerintahnya menghadapi banyak tantangan seperti endemik korupsi dan rendahnya tingkat kepercayaan publik.