Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Yesayas Oktovianus
Mantan wartawan harian Kompas, masa tugas 1983-2016

Mantan wartawan harian Kompas dengan masa tugas 32 tahun (1983-2016). Selama di harian Kompas, lebih banyak membidangi spesialisasi sepak bola nasional maupun internasional. Tiga kali meliput Piala Dunia, satu Kejuaraan Eropa, satu Olimpiade, beberapa kali SEA Games dan PON serta Kejuaraan Sepak Bola Nasional. 

Edy Belum Sukses Mereformasi Sepak Bola

Kompas.com - 12/04/2017, 12:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorJalu Wisnu Wirajati
KOMPAS.com - Harapan komunitas sepak bola nasional dan masyarakat umumnya, melambung tinggi ketika nama Edy Rahmayadi digadang bakal memimpin PSSI Reformasi yang diinginkan pemerintah.
 
Itu terjadi hampir setengah tahun lalu ketika PSSI berada dalam pembekuan oleh pemerintah. Presiden Joko Widodo dalam beberapa kesempatan memang menyuarakan keinginan pemerintah untuk melakukan reformasi total di sepak bola, tentu dengan target jangka panjang sepak bola Indonesia menjadi salah satu kekuatan menakutkan di Asia.
 
Dukungan pemerintah kepada Edy dengan asumsi latar belakang militer yang melekat pada Edy saat ini diharapkan akan mampu membersihkan semua kotoran di PSSI, mulai dari perbaikan organisasi, sumber daya manusia dan regulasi serta kompetisi di semua level.
 
Dengan agenda tersebut, maka dalam kurun waktu tiga-lima tahun ke depan, minimal Indonesia sudah bisa menjadi yang terbaik di kawasan ASEAN, menggeser posisi Thailand. 
 
Proses menuju singgasanah PSSI 1 bagi Edy juga tidak mengalami hambatan, kalau tidak dibilang sangat mulus. Mayoritas voters mengarahkan dukungan dan pilihannya kepada Edy di Kongres Tahunan di Ancol, Jakarta, November 2016.
 
Alhasil, Edy akhirnya menjadi Ketua PSSI, didampingi dua wakil ketua dan 12 angota Komite Eksekutif (Exco).
DOK. GTS Edy Rahmayadi terpilih menjadi Ketua Umum PSSI untuk periode 2016-2020 dalam Kongres PSSI di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, Kamis (10/11/2016).
 
Sampai saat ini, setelah seratus hari lebih "kabinet" Edy bekerja, tidak terlihat adanya agenda reformasi yang dikedepankan untuk dijalankan. Sebaliknya, program dan pola kerja masa lalu yang sangat dominan.
 
Tim nasional dibebani target secara instan, kompetisi strata tertinggi Liga 1 diikuti tim-tim "sakit" dan ilegal, organisasi dibentuk semau gue tanpa mengikuti arahan dan petunjuk statuta, dan tidak ada transparansi. 
 
Ketika menggelar launching operator kompetisi PT Liga Indonesia Baru (LIB), Edy hanya menyebut sponsor utama Go Jek Traveloka mengucurkan dana title right untuk semusim sebesar Rp 180 miliar. Sedangkan berapa dana dari hak siar televisi yang dipegang oleh TVOne, tidak disebutkan sama sekali. 
 
Dua tahun lalu, ramai di media menyebut Qatar National Bank (QNB) menyediakan dana sebesar Rp 500 miliar untuk menjadi sponsor utama kompetisi Liga Super dalam semusim. Sedangkan, pada turnamen Piala Presiden dua tahun lalu, dana yang didapat dari hak siar televisi sebesar Rp 375 miliar. 
Segaf Abdullah/JUARA.net Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadi (ketiga dari kiri), Chief Marketing Go-Jek, Piotr Jakubowski (keempat dari kiri), Head of Marketing Traveloka, Dannis Muhammad (kelima dari kiri) dalam peresmian Go-Jek Traveloka Liga 1 di Hotel Fairmont, Senayan, Jakarta, Senin (10/4/2017).
 
Berbagai pelanggaran
 
Kepercayaan penuh pemerintah dan harapan tinggi komunitas sepak bola nasional kepada Edy untuk melakukan perubahan, sebetulnya merupakan sebuah senjata pamungkas dalam menjalankan reformasi di tubuh PSSI.
 
Akan tetapi, Edy ternyata, tidak dapat memanfaatkan semua kelebihan tersebut. Satu demi satu pelanggaran justru dilakukan Edy, sejak awal dengan pembentukan pengurus.
 
Pelanggaran pertama terhadap Statuta FIFA adalah ketika Edy dan Exco membentuk Komite Etik, Komite Banding dan Komite Disiplin.
 
Seharusnya ketiga komite tersebut dipilih dan dibentuk melalui kongres, sesuai arahan dan perintah Statuta FIFA.
 
Mengapa demikian, karena ketiga komite tersebut jika dipilih oleh anggota di kongres, maka akan mempunyai kekuatan legalitas dalam bekerja, terutama ketika harus menyidangkan ketua dan anggota Exco.
 
Contoh, ketika Sepp Blatter tersangkut masalah kasus korupsi, maka Komite Etik yang memang independen di FIFA dengan mudah tanpa intervensi apa pun memeriksa dan kemudian menjatuhkan vonis bersalah kepada Blatter.
 
Pelanggaran kedua, Edy mengubah status seorang Iwan Budianto yang dipilih oleh kongres sebagai wakil ketua, menjadi staff khusus ketua.
 
Pelanggaran ketiga, penunjukan operator kompetisi strata tertinggi dipercayakan kepada PT LIB tanpa melalui keputusan kongres. Itu berarti, di Statuta PSSI sampai saat ini, PT Liga Indonesia (LI) masih terdaftar dan sah sebagai operator liga, bukan PT LIB. 
 
Pelanggaran keempat, Edy menunjuk Joko Driyono yang adalah wakil ketua sebagai pelaksana tugas (plt) sekretaris jenderal (Sekjen) menggantikan Ade Welingtong yang mengundurkan diri.
 
Padahal, dalam Statuta PSSI psl 63 dijelaskan, "Bahwa Sekjen PSSI adalah profesional dan tidak boleh merangkap jabatan". 
 
Untuk yang terakhir ini, ada sikap ambivalen pula dari Joko Driyono. Sebagai orang yang cukup menguasai regulasi PSSI, Joko seharusnya memberitahukan Edy bahwa penunjukkan dirinya sebagai pelaksana tuga kesekjenan adalah keliru dan tidak sesuai dengan arahan Statuta PSSI.
 
Ini bukan baru sekali ini, Joko merangkap jabatan di PSSI. Pada masa lalu, Joko juga pernah merangkap jabatan sebagai Sekjen PSSI dan juga CEO PT Liga Indonesia. Apakah ini sebuah kesengajaan dari seorang Joko?
 
Sebelum terlalu jauh melangkah dengan kesalahan demi kesalahan berikut, Edy sebaiknya membentuk segera sebuah Tim Ad Hoc yang tugasnya mendampinginya sebagai supervisi untuk menjadi penyeimbang, terutama ketika akan mengambil keputusan strategi di PSSI. 
 
Saya melihat posisi Edy sebagai ketua saat ini sangat kritis, dan berada di bibir jurang kegagalan dan kehancuran. Puncaknya, terjadi di SEA Games 2017 dan Asian Games 2018. 
 
Sebagai anak bangsa yang menghabiskan hampir sebagian besar perjalanan hidup mengurus sepak bola, saya sangat bersyukur kalau nantinya timnas kita sukses memenuhi target PSSI di SEA Games dan Asian Games.
 
Namun, sebagai seorang penggiat sepak bola, maka secara teknis saya menilai kita belum layak menjuarai SEA Games 2017, dan masuk empat besar Asian Games 2018.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com