Bandingkan dengan pemilihan pemain Ranieri pada 2003-2004, musim terakhirnya di Chelsea. Ketika itu, ada 21 pemain dengan kesempatan bermain lebih dari 10 kali, 17 di antaranya malah bermain lebih dari 20 kali.
Ranieri tentu belajar dari kegagalan dia pada masa lalu. Alih-alih ingin menyenangkan semua pemain, dia lebih memilih "memaksa" para pemain utamanya untuk selalu bekerja keras dan dimainkan sebisa mungkin.
Dari segi taktik, Ranieri juga mengesampingkan pola pikir menyenangkan semua orang. Gaya bermain pragmatis dan mengandalkan serangan balik mungkin tidak disukai sebagian besar pencinta sepak bola.
Bayangkan saja, dari 22 pertandingan Premier League yang dimenangi, sebanyak 19 laga di antaranya Leicester kalah dari segi penguasaan bola.
Akan tetapi, kalah dalam hal permainan indah dan penguasaan bola itu menjadi tidak penting dengan hasil akhir yang didapat Leicester.
“It is not the strong one that wins, the one that wins is strong.” – Franz Beckenbauer
Pragmatis tidak haram
Gaya bermain pragmatis memang seolah menjadi hal yang dibenci oleh pencinta sepak bola yang mengedepankan permainan indah.
Publik tentu lebih senang melihat gaya permainan dari kaki ke kaki di Arsenal sejak dilatih oleh Arsene Wenger. Begitu juga dengan permainan tiki-taka ala pelatih Josep Guardiola, terutama saat menukangi Barcelona.
Puja dan puji pun mengalir terhadap anak-anak asuhan Guardiola. Apalagi, selain bermain indah, mereka pun meraih sejumlah trofi bergengsi, bahkan 6 di antaranya terjadi pada tahun kalender yang sama.
Idealnya memang sepak bola bisa memberikan kebahagiaan bagi semua orang. Namun, tidak semua orang bisa dibahagiakan pada saat bersamaan. Ketika Barcelona menjadi juara, tentu suporter Real Madrid menjadi pihak yang paling merasakan tidak bahagia.
Ada beberapa hal yang membuat seseorang tidak bisa membahagiakan semua orang. Salah satunya keterbatasan sumber daya. Bukankah tak mungkin kita selalu membantu semua orang yang membutuhkan ketika kita pun punya keterbatasan kemampuan?
Namun, bukan berarti keterbatasan itu menjadi penghalang bagi kita dalam membahagiakan orang lain. Dengan memiliki keterbatasan, kita tentu akan memilih berdasar skala prioritas siapa yang membutuhkan kebahagiaan dari kita.
Seorang kepala rumah tangga, pasti akan lebih mendahulukan keluarga intinya untuk dibahagiakan, baru keluarga besar dan teman-temannya. Seorang pelatih sepak bola, tentu menempatkan suporter yang senantiasa memberi dukungan dalam setiap kesempatan sebagai prioritas utama.
Karena hal itulah, permainan pragmatis muncul. Sadar keterbatasan dengan kemampuan yang dimiliki timnya, seorang pelatih akan mengandalkan segala cara - selama tidak bertentangan dengan law of the game - agar timnya meraih kemenangan.