Rakyat ingin bersatu, wakil mereka di DPR justru malah berseteru, memecah diri dalam politik kubu. Bukannya segera memperjuangkan kepentingan umum, tetapi mereka ribut memperebutkan kursi ketua komisi. Upaya itu pun tidak lagi dilakukan dengan komunikasi santun penuh etika, melainkan emosi serta menggebrak-gebrak meja.
Merosotnya moral dan sopan santun seperti itu tanpa disadari akan menjadikan manusia tidak beradab. Pada akhirnya hal itulah yang mendorong manusia untuk menghalalkan segalanya, termasuk ketika menghilangkan nyawa manusia serta mengeruk keuntungan untuk memperkaya diri melalui jalan pintas dengan cara korupsi.
Lebih mengerikan lagi, perilaku konyol seperti itu terkadang secara terbuka dipertontonkan di hadapan ratusan jiwa penduduk Indonesia. Dari jutaan jiwa tersebut, mungkin ratusan ribu di antaranya adalah anak-anak yang bisa jadi merupakan calon generasi penerus pemimpin bangsa.
Apakah masalah terbesar dari seorang ayah yang tanpa rasa bersalah menunjukan tindakan melanggar aturan lalu lintas di depan anaknya? Jawabannya bukanlah kemacetan. Tetapi, dengan kemampuan daya tangkap yang luar biasa, seorang anak akan merekam dan siap menirunya di kemudian hari.
Dengan begitu sampai kapanpun masalah lalu lintas itu tidak akan hilang. Begitulah beberapa contoh kondisi nyata dalam kehidupan sosial dan berpolitik kita. Sejumlah masalah kehidupan berpolitik itu pun rasanya tidak akan hilang jika tidak ada niat tulus dan kemauan dari mereka untuk memperbaiki pola pikirnya sendiri demi kemajuan bangsa.
Hakikat
Mengacu ke pernyataan Beckenbauer, berbagai persoalan sosial-politik itu pun bisa masuk ke ruang lingkup sepak bola. Sama seperti kehidupan berbangsa, dalam bidang olahraga apapun setiap masalah bakal selalu dialamatkan ke pemimpinnya, dengan kata lain, adalah induk federasi cabang olahraga.
Logika sederhananya adalah setiap timbul masalah, pasti ada akar penyebabnya. Tetapi, jika akar penyebab itu tidak diselesaikan hingga tuntas, wajar masalah akan terus terjadi. Kalau sudah begini, pola pikir para stakeholder sepak bola, termasuk pengurus PSSI, yang menjadi titik krusial.
Jika mereka semua serius dan tulus mengilhami bahwa hakikat sepak bola adalah olahraga yang penuh keindahan dan kejujuran, sejatinya, berbagai persoalan seperti karut marut sistem dan mutu kompetisi, pembayaran hak-hak pemain yang belum terealisasi, serta perbaikan perangkat pertandingan, perlahan-lahan pasti bisa teratasi.
Toh, jika hak-haknya dipenuhi dengan baik, para pemain tidak akan rentan tergoda menerima uang haram yang dapat berimbas pada mutu kompetisi. Jika ada fasilitas serta perangkat pertandingan berkualitas, adu jotos di akhir laga pun bisa dihindari karena suporter puas menyaksikan permainan yang berkelas.
Namun, jika berpikir sepak bola hanya urusan menang dan kalah, apa bedanya mereka dengan pejudi yang melakukan "bisnis" untuk mengeruk keuntungan semata. Dari pemikiran seperti itulah tanpa disadari dapat muncul praktik-praktik mafia. Dan bisa jadi, disitulah letak sesungguhnya kejahatan utama sepak bola Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.