PSSI sungguh tak punya ”landasan hukum” untuk memasukkan enam tim ini ke struktur kompetisi strata tertinggi. Alasan yang mereka lontarkan pun sangat absurd karena memakai pertimbangan subyektif, seperti nama besar, sejarah, dan yang paling konyol, permintaan sponsor.
Meski faktor di atas ini bukan satu-satunya penyebab, tampaknya keputusan-keputusan kontroversial dalam bidang kompetisi inilah yang menjadi faktor kunci timbul dualisme kompetisi, yakni Indonesian Premier League (IPL) yang ”direstui” PSSI dan Indonesian Super League (ISL) yang dianggap ilegal.
Bapak bangsa, Bung Karno, terkenal dengan istilahnya, ”Jas Merah”, jangan sekali-kali melupakan sejarah! Pun demikian dengan penguasa PSSI sekarang. Diakui atau tidak, mereka bisa berkuasa dengan menggunakan ”kendaraan” Liga Primer Indonesia (LPI). Saat LPI digulirkan 8 Januari lalu, mereka ”dianiaya” oleh penguasa PSSI saat itu, rezim Nurdin Halid. Selain dianggap ilegal, para pemain, pelatih, dan wasit nasional yang terlibat diancam dimatikan kariernya.
Sekarang sejarah berulang, penggagas LPI yang dulu teraniaya kini menjadi penganiaya. Tanpa semangat rekonsiliasi, organisasi PSSI hanya dipakai sebagai ajang balas dendam. Kentara benar, tidak ada ketulusan membangun sepak bola.
Kini, ISL yang dianggap ilegal dan LPI, yang berubah wujud menjadi IPL, justru yang dianggap resmi. Seperti halnya era Nurdin Halid, dualisme kompetisi dengan lahirnya LPI terbukti tidak membawa kemajuan bagi persepakbolaan nasional. Demikian pula sekarang, dualisme ini hanya akan memperburuk iklim sepak bola nasional.
Sejarah yang baru seumur jagung dilupakan, juga logika-logika dasar kompetisi. Sepak bola Indonesia jalan di tempat, bahkan melangkah mundur.