Spanyol pantas mendapatkan apa yang mereka impikan. Belajar dari pengalaman kalah 0-1 dari Swiss pada laga pembuka penyisihan grup membuat para pemain mawas diri. Alhasil, mereka bisa bangkit dari keterpurukan dan menjawab semua kritikan, dengan merengkuh semua laga tersisa sampai akhirnya menjadi juara.
"Pemain-pemain kami tahu betul sepak bola. Kekalahan dari Swiss pada fase grup sangat berat bagi kami. Kami tak pantas mendapatkannya. Kami telah berkembang dan kekalahan ini telah membawa kami ke final," kata Pelatih Spanyol, Vicente Del Bosque, seusai timnya menang 1-0 atas Jerman di semifinal. Tak hanya Spanyol, Jerman pun menunjukkan sebuah hasil yang memuaskan atas kerja keras yang sudah mereka lakukan dalam satu dekade terakhir, pascakegagalan yang menyesakkan pada Piala Eropa 2000, ketika langsung terjegal pada babak penyisihan grup. Meskipun belum mampu menjadi juara, tetapi "Nationalmannschaft" berani menampil sesuatu yang berbeda pada Piala Dunia kali ini dengan membawa sebagian besar pasukan muda.
Federasi Sepak Bola Jerman (DFB) membuat sebuah langkah besar dan berani setelah kehancuran "Der Panzer" pada dua pertandingan tersebut. DFB mewajibkan setiap klub, baik di Bundesliga maupun Divisi I, memiliki akademi sepak bola. Selain itu, klub-klub dilarang berinvestasi besar-besaran hanya untuk membeli pemain asing karena pemain muda lokal harus dinomorsatukan.
Ternyata, Jerman menuai hasil. Program 10 tahun menjadikan "Si Panser" raja sepak bola dunia sudah mulai menunjukkan tanda sangat positif ketika mereka tampil impresif pada putaran final Piala Dunia 2010. Lawan-lawan tangguh disingkirkan secara meyakinkan, termasuk Inggris (4-1) dan Argentina (4-0), sebelum menyerah 0-1 dari Spanyol pada semifinal.
Dalam partai perebutan posisi ketiga ketika menang 3-2 atas Uruguay, Jerman lagi-lagi menunjukkan kesuksesan para pemain mudanya. Pelatih Joachim Loew menurunkan hampir 100 persen pemain dengan usia di bawah 26 tahun (kecuali penjaga gawang Hans-Jorg Butt, yang berusia 36 tahun). Para pemain senior, seperti Miroslav Klose, Lukas Podolski dan Philipp Lahm, diistirahatkan.
Pada duel yang "tidak terlalu bergengsi" ini, Loew mencoba pemain-pemain baru, seperti Stefan Kiessling, Toni Kroos, Serdar Tasci, dan Dennis Aogo, di samping pasukan muda yang sudah langganan starter sejak penyisihan grup, yakni Sami Khedira, Thomas Mueller, Mesut Oesil, dan Marcell Jansen. Bahkan, Mueller yang baru melakukan debutnya di Piala Dunia meraih dua gelar. Dia jadi pencetak gol dengan torehan 5 gol, dan berhak atas penghargaan Sepatu Emas, serta jadi Pemain Muda Terbaik.
Ini sebuah indikasi, pada Piala Dunia 2014 di Brasil nanti, Jerman akan menjelma jadi tim paling menakutkan. Kematangan para pemain muda sekarang akan membuat Panser layak difavoritkan karena Mueller dan kawan-kawan diyakini sedang dalam masa emasnya pada empat tahun mendatang.
Selain Spanyol dan Jerman, masih ada prestasi beberapa negara yang patut dijadikan contoh, seperti Korea Utara, Korea Selatan, dan Jepang. Semangat pantang menyerah membuat tiga wakil Asia ini menghadirkan kejutan. Korut memang tersingkir di penyisihan grup, tetapi mereka sempat menyulitkan Brasil (bahkan bisa cetak 1 gol). Sementara itu, Korsel dan Jepang melangkah ke fase knock-out.
Bagaimana dengan Indonesia? Tampil di Piala Dunia tentu saja masih hanya sebatas angan-angan yang sulit digapai, jika melihat prestasi timnas. Bagaimana tidak, ketika negara lain berlomba-lomba untuk maju, PSSI justru melangkah, bahkan berlari ke belakang.
Hasil di SEA Games Laos 2009 menjadi bukti. Indonesia, yang dulu pernah menjadi kekuatan sepak bola Asia Tenggara, tak berdaya pada pesta olahraga tersebut. Melawan Laos, yang tidak punya tradisi sepak bola, Indonesia kalah 0-2. Hasil ini sangat menyakitkan. Laksana terkena pukulan palu godam Mike Tyson, wajah sepak bola Indonesia hancur dan remuk karena, sepanjang sejarah SEA Games, Indonesia tak pernah kalah dari Laos. Sejarah yang "diagung-agungkan" itu pun runtuh.