Menjelang Imlek, warga Tionghoa Bangka di perantauan biasanya mudik ke kampung asalnya. Mereka datang untuk berkumpul dengan orangtua dan sanak famili serta berdoa memohon diberikan rezeki pada tahun berikutnya.
Namun, menurut Halim, mudik saat Imlek umumnya dilakukan orang Tionghoa yang orangtuanya masih hidup di kampungnya. Bagi perantau Tionghoa yang orangtuanya sudah meninggal lebih memilih mudik saat sembahyang kubur (cheng beng).
Sembahyang kubur adalah tradisi Tionghoa untuk mendoakan para leluhur atau orangtua yang sudah meninggal, dilakukan setahun sekali pada tanggal 5 April.
”Sembahyang kubur adalah ekspresi penghormatan terhadap jasa-jasa mereka yang sudah meninggal. Tanpa mereka, kita tak mungkin bisa hidup. Lebih dari itu, ingin dipesankan kepada kaum muda Tionghoa agar selalu menghormati orangtua dan leluhur. Makanya, saat cheng beng, sesibuk apa pun orang Tionghoa selalu meluangkan waktu mendatangi makam orangtua dan leluhur,” jelas Halim.
Apa pun kondisinya, Imlek di Bangka selalu tetap semarak. Kemeriahan itu tidak hanya dirasakan warga Tionghoa, tetapi juga masyarakat dari etnis lainnya. Mereka selalu berbaur untuk bersama-sama menyambut kedatangan tahun baru dalam tradisi Tionghoa.
”Imlek di Bangka sudah menjadi tradisi bersama semua etnis. Kami yang tidak merayakan selalu mendatangi rumah tetangga, sahabat, atau kenalan warga Tionghoa untuk menyampaikan selamat merayakan tahun baru, sebab di antara kami sudah seperti saudara,” ujar Zulkarnaem (27), warga Pangkal Pinang.