Jannes Eudes Wawa
Tanah Air
Kue keranjang yang dibuat selalu berbentuk bundar. Bentuk itu melambangkan kesempurnaan.
”Artinya, setiap keluarga Tionghoa ingin mendapat hidup yang sempurna. Itu sebabnya dalam keterbatasan yang kami miliki, istri saya selalu berusaha bikin kue untuk Imlek,” kata Tjhory (57), suami nyonya Isma. Tjhory sehari-hari bekerja sebagai nelayan.
Aktivitas serupa juga dilakukan di sejumlah rumah milik warga Tionghoa. Selain membuat kue, mereka juga membersihkan rumah. Pintu, jendela, dinding, dan lantai yang tampak kotor dibersihkan. Para penghuni rumah menginginkan rumah mereka bersih dan rapi saat menyambut pergantian tahun dari kerbau tanah menuju macan emas pada 14 Februari 2010.
”Bagi orang Tionghoa, membersihkan rumah menjelang Imlek adalah tradisi yang wajib dilakukan. Rumah diibaratkan jiwa. Kalau jiwa sudah bersih, maka yang bersangkutan siap menerima keberuntungan yang akan datang pada tahun berikutnya,” jelas Tjhory.
Tradisi membersihkan rumah dan membuat kue biasanya dilakukan sejak sebulan hingga sehari menjelang Imlek. Lalu, mulai sehari menjelang hingga tiga hari sesudah Imlek, rumah tidak boleh dibersihkan lagi, termasuk mengeluarkan kotoran keluar rumah. Membersihkan rumah saat itu dipercaya akan membuang semua rezeki.
Imlek juga ditandai dengan pemasangan lampion yang merupakan simbol pelita kehidupan. Fika (19), pengelola toko Happy di Pasar Bawah, Sungai Liat, mengaku, sejak awal Februari penjualan lampion dan aksesori Imlek lainnya meningkat tajam. Lampion, misalnya, laku terjual 30-40 buah per hari.
”Volume penjualan aksesori biasanya terus meningkat hingga dua hari menjelang Imlek,” ungkap Fika. Aksesori-aksesori itu didatangkan dari Jakarta.
Warga Tionghoa juga tidak lupa menyediakan lilin dalam berbagai ukuran yang nantinya dibakar di kelenteng pada malam Imlek. Lilin dimaknai sebagai pembawa terang.