SUATU  sore, Sekretaris Dewan Presidium Papua Thaha Alhamid berjalan menuju tribune Stadion Mandala di Jayapura, Papua. Tokoh politik Papua yang gila bola itu disambut para wartawan yang ingin menanyakan dinamika pemilihan gubernur Papua.

Inilah jawabannya, ”Stop bicara politik! Kalian duduk dan lihat Persipura main. Setelah selesai baru kita bicara,” ujar Alhamid.

Begitulah, Alhamid selalu menolak diwawancarai setiap Persipura bertanding di kandang ataupun tandang. Ia melupakan seluruh urusan politik dan menyirami rohaninya dengan menyaksikan pertandingan tim ”Mutiara Hitam”. ”Hanya Persipura yang bisa membuat masyarakat Papua tersenyum di tengah kegagalan otonomi khusus dan konflik yang terus terjadi,” ujar Alhamid, Rabu (5/11).

Persipura adalah anomali di tengah stigma masyarakat Papua yang serba tertinggal dibandingkan dengan daerah lain. Prestasi yang diraih Persipura menumbuhkan kebanggaan, menghidupkan asa ada yang bisa dibanggakan dari Papua.

”Persipura juga mampu menyatukan masyarakat baik pendatang maupun warga asli. Penjual soto lamongan bahkan mendukung Persipura saat Persela Lamongan main di Jayapura kemarin,” kenang Alhamid.

”Saat di stadion tidak ada lagi kau Jawa-kah, Makassar-kah, Papua-kah. Semua duduk bersama dan meneriakkan Persipura,” kata Alhamid yang gila bola.

Persipura juga bukan hanya milik kaum laki-laki dewasa. Mama-mama, anak-anak, dan gadis-gadis di Papua juga senang sekali membicarakan Persipura. Pendek kata, Persipura adalah idola seluruh warga Papua.

Mereka jadi idola karena para pemainnya yang rata-rata orang asli Papua, ”perwakilan” dari banyak kabupaten, mampu menyuguhkan permainan agresif dan menghibur. Kalau di tingkat dunia, tim Brasil bermain bola seperti menari samba, Persipura bermain bola seperti menari yospan, tari pergaulan di Papua yang mengandalkan kelenturan tubuh dan kecepatan kaki.

Tak heran, setiap Persipura bertanding, banyak warga menggelar nonton bareng di rumah dan kedai kopi. ”Jalanan sepi karena semua menonton Persipura. Kalau terdengar suara petasan, pasti Persipura cetak gol. Dari rumah-rumah juga terdengar teriakan gol...,” kata wartawan The Jakarta Post, Nethy Darma Somba, yang juga penggemar Persipura.

Ketika Persipura bertanding melawan Pelita Bandung Raya di partai semifinal Liga Super Indonesia, Selasa (4/11) malam, di Stadion Gelora Sriwijaya, Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan, suasana Kota Jayapura tampak lengang. Tak banyak warga berkunjung ke sejumlah lokasi perbelanjaan dan rumah makan. Perhatian mereka semua tertuju ke televisi yang menyiarkan pertandingan. Sebagian warga menonton bersama di kedai kopi yang penuh sesak.

Malam itu, Persipura menang 2-0 dan melenggang ke final. Namun, hanya sedikit orang menggelar pawai di sejumlah ruas jalan di Jayapura.

Perayaan itu memang tak besar. Sebab, warga Papua menganggap pencapaian Persipura ke final Liga Indonesia sudah biasa. Persipura tercatat tujuh kali masuk final Liga Indonesia, enam di antaranya berturut-turut. Dari tujuh final, Persipura empat kali juara.

Menanti trofi kelima

Suasana itu sangat berbeda dibandingkan saat Persipura pertama kali juara Liga Indonesia musim 2004/2005 dengan mengalahkan Persija 3-2 di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta.

Di GBK, Persipura memang tidak bisa pesta karena di luar stadion massa rusuh. Pemain dan suporter yang berangkat ke Jakarta terjebak di dalam stadion hingga pukul 02.00. ”Keesokan lusa kami baru pulang ke Jayapura dan sempat transit di Biak. Di sana tim sudah disambut Bupati Biak dan para pemain dikalungi bunga,” kenang Nethy yang ikut dalam rombongan.

Itu baru permulaan. Setibanya di Jayapura, warga sudah menanti dan banyak yang masuk hingga ke dalam bandara. Di luar bandara, ribuan warga menyambut Persipura. Setiap pemain disambut oleh keluarganya mengenakan pakaian dan atribut etnik masing-masing.

Marwal Iskandar yang berasal dari Palopo disambut keluarga besar kerukunan warga Sulawesi Selatan di Papua. Jack Komboy juga disambut secara adat. Semua warga tumpah ke jalan, memadati jalur dari Bandara Sentani hingga Lapangan BTC di Jayapura yang normalnya bisa ditempuh dalam waktu 50 menit.

”Kami berangkat pukul 10.00, tetapi tidak bisa bergerak karena jalan padat. Warga tumpah ke jalan menyambut Persipura. Kami baru tiba di Jayapura pukul delapan malam,” ujar Nethy.

Tahun ini, Papua menanti gelar kelima Liga Indonesia. Warga sudah mempersiapkan acara nonton bareng final Persipura melawan Persib, Jumat (7/11).

Di saat laga krusial seperti ini, Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang ketar-ketir. Jika listrik padam, warga bisa marah seperti kejadian 2006 saat warga menggeruduk kantor PLN Jayapura karena listrik padam saat Persipura tanding.

Akankah Persipura bisa menggelar pesta kemenangan tahun ini? Kita tunggu saja. (FLO/ANG)