KOMPAS.com - ”SAYA akan membawa Brasil menjuarai Piala Dunia 2014.” Itulah yang dijanjikan Luiz Felipe Scolari kepada publik seusai tim ”Samba” menang 2-1 atas Kolombia di perempat final. Entah berlebihan atau tidak, buktinya ia pernah menepati janjinya ketika mengantar ”Selecao” juara dunia 12 tahun silam.

Rasanya, pria yang akrab disapa Felipao itu tak main-main dengan ucapannya. Ia tahu betul konsekuensi berjanji di hadapan lebih dari 200 juta warga Brasil yang fanatik mendukung tim Samba. ”Jika Anda berjanji, Anda harus menepatinya,” ujar Felipao.

Ucapan Scolari itu sebenarnya cukup riskan karena Brasil dipastikan tanpa Neymar dan sang kapten Thiago Silva saat menghadapi Jerman di semifinal. Namun, Felipao tentu punya perhitungan matang terhadap peluang timnya merengkuh gelar juara dunia keenam kali.

”Saya mengenal baik Felipao. Dia motivator ulung dan saya yakin dia akan membakar semangat para pemain, terutama yang ditunjuk sebagai pengganti Neymar,” ungkap mantan penyerang tim Samba, Ronaldo.

Pemain yang mencetak 15 gol di empat Piala Dunia itu adalah striker kepercayaan Felipao saat Brasil juara dunia 2002. Bersama Rivaldo dan Ronaldinho di lini depan, mereka menjadi tumpuan ketajaman dalam formasi 5-2-3.

Skema permainan itu menuai kritik tajam. Keputusannya memainkan tiga bek tengah, Roque Junior, Lucio, dan Edmilson, dianggap kurang tepat. Namun, ia bergeming. Bahkan, ia tak segan beradu argumen dengan Pele saat legenda Brasil itu mempertanyakan strateginya.

”Pele tidak tahu apa-apa soal sepak bola. Ia tak pernah menjadi pelatih dan prediksinya hampir selalu salah. Jadi, jika ingin sukses, kita mesti berpikir berlawanan dengannya,” ujar pria berusia 65 tahun itu.

Itulah Scolari yang berani ”pasang badan” demi melindungi anak asuhnya dari gangguan nonteknis. Di tengah keraguan dan kritik publik, ia terus meyakinkan pemain bahwa mereka mampu juara.

Brasil pun sukses mewujudkan Penta Campeao (juara dunia kelima kali) setelah menang 2-0 atas Jerman di final. Ia lalu melanjutkan petualangannya bersama timnas Portugal.

Felipao tertantang untuk mengangkat prestasi Selecao yang kala itu diperkuat Luis Figo dan bintang muda Cristiano Ronaldo. Portugal pun dibawanya ke babak empat besar Piala Dunia 2006, menyamai prestasi Eusebio dan kawan-kawan, 40 tahun sebelumnya.

Klub raksasa Inggris, Chelsea, merekrutnya pada 2008. Namun, ia hanya bertahan tujuh bulan bersama si ”Biru”. Ketidakcocokan kultur dan karakter pemain membuatnya gagal membawa Chelsea berprestasi. ”Saya tak bisa bekerja di lingkungan yang tak memercayai ide saya,” katanya.

Pulang kampung

Felipao lalu memutuskan pulang kampung untuk menangani Palmeiras. Klub itu dibawanya menjuarai Piala Brasil. Federasi Sepak Bola Brasil lantas menawarinya melatih tim Samba untuk Piala Dunia 2014.

Targetnya jelas, yakni menebus kegagalan Piala Dunia 1950 saat Brasil hanya menjadi runner-up di rumah sendiri. Ia pun merangkul sahabatnya, Carlos Alberto Parreira, sebagai penasihat teknis. Parreira adalah pelatih Brasil saat menjadi kampiun dunia 1994.

Meski diterpa badai kritik karena tak memanggil sejumlah pemain senior, Brasil terus melaju. Tinggal dua anak tangga lagi, impian juara di rumah sendiri pun terwujud.

Felipao seolah terlahir untuk menangani Selecao. Ia tak hanya piawai meramu taktik, tetapi juga memiliki figur sebagai seorang ayah. Pendekatan yang hangat bak seorang ayah dengan anak itulah yang disukai pemain Brasil. ”Lewat pendekatan dari hati ke hati, pemain sepenuhnya memercayai ide saya,” ujarnya. (bbc/dailymail/riz)