Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 04/10/2022, 17:16 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DUKA mendalam untuk sepak bola Tanah Air atas tragedi di Kanjuruhan, Malang, Indonesia. Lebih dari 120 orang meninggal dunia. Tidak terbayangkan bahwa malam Minggu, tanggal 1 Oktober 2022 itu, akan menjadi malam kelam di Malang.

Air mata, penyesalan, ataupun tindakan investigasi sekalipun, tidak akan bisa mengembalikan nyawa yang telah hilang.

Siapa yang paling bersalah dalam tragedi ini? Akan ada banyak versi yang muncul untuk menjawab pertanyaan ini.

Namun, kita patut lebih jauh bertanya, apakah sepak bola sudah cukup menunjukkan limit kita, yang seharusnya bertindak sebagai manusia dengan sesama manusia yang lain?

Dualitas Sepak Bola

Selain menarik dan menghibur, sepak bola pun kerap memunculkan dualitas. Ia bisa menjadi olahraga milik rakyat karena dapat dilakukan dan dikagumi seluruh rakyat. Namun, sekaligus di sisi lain, ia juga bisa punya sisi eksklusif karena diatur dan dikuasai oleh para pemilik cuan atau modal besar. Selain itu, sepak bola bisa menjadi pertandingan kelas tarkam (antarkampung) sebagai hiburan orang kampung, tetapi ia juga bisa jadi perhelatan level dunia di stadion internasional nan megah dengan selebrasi dan sponsor berkelas tinggi.

Fakta ini pun sekaligus menunjukkan banyaknya peminat dan luasnya jangkauan olahraga ini. Luasnya jangkauan sepak bola ini turut membawa dualitas lain. Hal itu terlihat mulai dari soal gengsi kampung sampai politik dunia. Mulai dari soal rasial sampai soal protes perang antarnegara, sampai kampanye perdamaian yang juga bisa dijangkau melalui sepak bola.

Tidak berhenti di situ, dualitas pun muncul ketika sepak bola, di satu sisi, bisa menghasilkan banyak cerita prestasi, tetapi sekaligus banyak cerita skandal pun tragedi. Sepak bola bisa menjadi ajang amal untuk membantu menyambung hidup korban bencana ataupun untuk riset pengobatan penyakit tertentu. Juga sebaliknya, sepak bola pun bisa "menghilangkan" nyawa para penikmatnya.

"Maut" yang dibawa oleh sepak bola ini bukan hanya terjadi pada mereka yang "kehabisan darah", kelelahan akibat terlalu begadang menonton di musim Piala Dunia, seperti beberapa kejadian yang telah berlalu, tetapi juga mampu merenggut ratusan nyawa. Dalam konteks ini, Stadion Kanjuruhan, Malang, menjadi saksi bisu atas salah peristiwa maut besar dalam sejarah sepak bola dunia.

Baca juga: Ada Beda Persepsi Panpel dan Polisi soal Gas Air Mata Tragedi Kanjuruhan

Fanatis dan Primordialis

Berdasarkan pengataman dan penelusuran, dominasi kerusuhan di dunia sepak bola, entah itu pada skala lokal sampai level internasional ialah tindakan fanatis dan primordialis. Fanatis atau fanatik diartikan sebagai kepercayaan yang terkuat pada ajaran tertentu. Sementara itu, primordialis berasal dari pemahaman tentang primordialisme dilihat sebagai sikap yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik itu tradisi, adat istiadat, ataupun berbagai hal yang ada dilingkungan (KBBI, 2012).

Dalam arti sempit, fanatis atau fanatik bisa membuat orang kehilangan akal sehat sehingga bertindak sembrono. Sementara itu, primordialis dapat mendorong orang untuk melihat semua yang berasal dari daerahnya merupakan hal yang paling baik melebihi yang dimiliki orang lain.

Kedua kecenderungan ini sering hinggap pada para penggemar sepak bola. Keduanya juga jarang absen dipraktikkan ketika mendukung tim kesayangan di lapangan hijau. Mereka dominan muncul karena antara pelaku, pemain, ataupun klub sepak bola berasal dari tempat yang sama, atau ada kerabat pun kenalan yang bermain di sana.

Salah satu studi mengenai suporter, yang dibuat oleh Agusman (2018), di Sleman, Yogyakarta, menunjukkan, tindakan fanatis juga muncul akibat faktor rivalitas antardaerah ataupun balas dendam kepada tim dari wilayah lain. Tindakan fanatis dan daya dorong primordialis kemudian memunculkan ekspektasi bahwa kemenangan adalah sebuah harga mati. Tidak ada lagi tempat untuk melihat lawan bertanding sebagai pihak yang darinya orang dapat belajar. Orang kehilangan daya nalar rasional sehingga sanggup menghalalkan segala cara.

Kecenderungan ini mentransformasi yang lain (lawan) sebagai musuh. Lawan adalah musuh yang harus dikalahkan karena anggapan buta, "tim kamilah yang terhebat dan terbaik." Iklim kompetisi akhirnya berubah menjadi aktus eliminasi atas yang lain ini.

Pertimbangan dan pandangan tentang kemanusiaan pun hilang dalam situasi demikian. Akibatnya dapat dilihat dalam amukan massa atau kerusuhan yang terjadi jika tim kesayangan kalah. Biasanya yang akan menjadi sasaran adalah tim lawan atau fasilitas umum. Setelahnya, tidak ada yang mau mengaku atau bertanggung jawab.

Baca juga: Arema FC Dijatuhi Sanksi Rp 250 Juta Setelah Kerusuhan Kanjuruhan

Sepak Bola dan Bahaya Modernisasi

Selain efek negatif akibat tindakan fanatis dan primordialis, dalam perkembangannya di era modern, tidak jarang terdapat proses-proses dalam sepak bola yang turut menyebabkan dehumanisasi. Hal ini terjadi ketika alih-alih menyehatkan dan menghibur, olahraga ini juga bertransformasi menjadi lahan bisnis dan tempat meraup uang. Proses ini tidak tanggung-tanggung mengesampingkan serta buta sisi kemanusiaan. Ini terjadi ketika tuntutan penyelenggaraan olahraga yang modern kerap membuat olahraga ini mesti ditopang oleh gaya pengaturan kapitalis.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Messi Absen Bela Argentina, Dapat Cedera di Inter Miami

Messi Absen Bela Argentina, Dapat Cedera di Inter Miami

Internasional
Wakil Indonesia Raih Kejayaan di All England, Emas Olimpiade Jadi Sasaran

Wakil Indonesia Raih Kejayaan di All England, Emas Olimpiade Jadi Sasaran

Badminton
Arema FC Pantang Putus Asa, Bangun Jelang Lawan Persebaya

Arema FC Pantang Putus Asa, Bangun Jelang Lawan Persebaya

Liga Indonesia
All England 2024: Jojo dan Ginting Saling Dorong, Kemenangan Bersama

All England 2024: Jojo dan Ginting Saling Dorong, Kemenangan Bersama

Badminton
Timnas Italia Diserang Kecanduan Playstation, Pemain Bergadang Jelang Laga Krusial

Timnas Italia Diserang Kecanduan Playstation, Pemain Bergadang Jelang Laga Krusial

Liga Italia
Indonesia Vs Vietnam: Jawaban STY soal Kans Debut Jay Idzes dan Nathan

Indonesia Vs Vietnam: Jawaban STY soal Kans Debut Jay Idzes dan Nathan

Timnas Indonesia
Indonesia Vs Vietnam: STY Waspada, Pantang Terlena Memori Piala Asia

Indonesia Vs Vietnam: STY Waspada, Pantang Terlena Memori Piala Asia

Timnas Indonesia
Persija Jadi Musafir di Bali, Thomas Doll Sebut Pemain Sangat Profesional

Persija Jadi Musafir di Bali, Thomas Doll Sebut Pemain Sangat Profesional

Liga Indonesia
Indonesia Vs Vietnam: Dukungan Shin Tae-yong untuk Justin Hubner

Indonesia Vs Vietnam: Dukungan Shin Tae-yong untuk Justin Hubner

Timnas Indonesia
Igor Tudor Resmi Latih Lazio: Eks Asisten Pirlo, Pemuja Gasperini

Igor Tudor Resmi Latih Lazio: Eks Asisten Pirlo, Pemuja Gasperini

Liga Italia
Reaksi Shin Tae-yong soal Jersey Latihan Timnas, Kritik Daya Serap Keringat

Reaksi Shin Tae-yong soal Jersey Latihan Timnas, Kritik Daya Serap Keringat

Timnas Indonesia
Nottingham Forest Dihukum Pengurangan 4 Poin, Turun ke Zona Degradasi

Nottingham Forest Dihukum Pengurangan 4 Poin, Turun ke Zona Degradasi

Liga Inggris
Fokus Masuk 4 Besar, Bali United Ingin Stabil sampai Akhir Musim

Fokus Masuk 4 Besar, Bali United Ingin Stabil sampai Akhir Musim

Liga Indonesia
Respons Tegas Shin Tae-yong soal Sindiran Vietnam ke Timnas Indonesia

Respons Tegas Shin Tae-yong soal Sindiran Vietnam ke Timnas Indonesia

Timnas Indonesia
Indonesia Vs Vietnam, STY Siapkan Taktik dan Nutrisi Para Pemain

Indonesia Vs Vietnam, STY Siapkan Taktik dan Nutrisi Para Pemain

Timnas Indonesia
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com