Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andibachtiar Yusuf
Filmmaker & Football Reverend

Filmmaker & Football Reverend

Jangan Salah Kaprah! Pemanggilan Pemain Keturunan Bukan Naturalisasi

Kompas.com - 16/11/2021, 16:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - “Era modern menunjukkan bahwa batas wilayah telah menjadi sebuah ketidakmutlakan!”. Demikian kira-kira tulis Bambang Haryanto, seorang penggiat suporter sepak bola Jawa Tengah.

Pada tulisannya itu, ia menjelaskan bagaimana peta pergerakkan bangsa-bangsa di dunia terjadi sejak lama dan semakin cepat sekitar 50 tahun terakhir.

“Bagaimana orang-orang Afrika datang ke Eropa dan kemudian menjadi bagian dari bangsa Eropa atau bagaimana orang-orang Amerika Selatan datang ke Eropa dan menjadi bagian dari bangsa Eropa, atau sebaliknya.”

Baca juga: Perjalanan Karier Marc Klok, Gelandang Naturalisasi yang Resmi Tinggalkan Persija

Mas Bambang—demikian saya memanggilnya—jelas merasa bahwa batas negara masa kini hanyalah batas yang ilusional, yang tak tampak dan yang seharusnya tidak lagi pantas dipermasalahkan.

Pada masanya sebelum menjadi Indonesia, Nusantara adalah gugusan pulau yang menjadi daya tarik besar bangsa Eropa.

Kolonialisme Belanda membuat peta kedatangan bangsa-bangsa lain dari belahan bumi lain adalah hal biasa.

Sebuah catatan yang pernah saya temukan di perpustakaan Leiden Universiteit menunjukkan, pernah terjadi gelombang kedatangan bangsa Polandia dan areal Balkan ke Hindia Belanda dan kebanyakan di antaranya masuk dari Batavia.

Artikel yang dilengkapi dengan foto-foto usang awal abad 20 menunjukkan banyak orang Eropa mendarat di Sunda Kelapa masih dengan pakaian khas asal mereka.

Foto-foto yang secara identitas serupa dengan foto-foto gelombang kedatangan bangsa Eropa ke pelabuhan New York di sekitar era waktu yang sama.

Beberapa waktu lalu, ketika sedang meriset sebuah project bagi layanan streaming baru milik FIFA yang akan mulai beroperasi pada Februari 2022, saya juga menemukan sebuah majalah Indonesia terbitan 1953.

Majalah itu menampilkan Miss Indonesia yang berayah Polandia dan beribukan Jepang.

Kebangsaannya jelas Indonesia, karena kedua orang tuanya memang WNI tulen bahkan jauh sebelum proklamasi 1945 atau bahkan Soempah Pemoeda diikrarkan.

Hindia Belanda faktanya adalah sebuah hub penting bagi dunia saat itu. DW Beretty si pendiri (cikal bakal) kantor berita Antara adalah keturunan Italia dan Jawa, bisnisnya menggurita sampai New York di awal 1920-an.

Baca juga: Makan Konate Bicara Kemungkinan Susul Marc Klok Jadi Pemain Naturalisasi

 

Bahkan kematiannya pun adalah karena kecelakaan pesawat saat kembali ke Indonesia setelah perjalanan bisnis panjang di Eropa.

Pada suatu masa kita adalah bagian dari dunia, lalu mengapa hari ini kita selalu merasa inferior terhadap apapun yang berbau luar negeri?

Saya tak pernah mampu menemukan jawabannya, jika pun coba menjabarkannya biasanya selalu ada saja yang merasa pendapat saya tak pantas.

Faktanya, sejak program nasionalisasi sekitar 1955, negeri yang sudah bernama Indonesia ini menjadikan semua aset milik Belanda dan asing lainnya masuk ke pelukan negara.

Niatnya tentu bagus karena negeri baru dan besar ini perlu membangun dan mengisi pundi-pundi kasnya agar bisa mensejahterakan rakyatnya.

Cover National Geographic tahun 1955 dengan cover Bung Karno menunjukkan potensi dahsyat negeri ini. Hutan luas di Kalimantan, emas di Jawa dan Sulawesi, minyak di Sumatera dan tentu saja potensi wisata yang bisa dihasilkan.

Indonesia disebut sebagai sebuah negara yang siap jadi raksasa.

50 tahun kemudian, majalah yang sama memberikan cover yang sama. Bedanya, kali ini berisikan kisah kegagalan negeri ini.

Berpindahnya aset-aset tadi ke tangan negara diikuti dengan pengusiran banyak orang-orang yang dianggap asing, terutama kulit putih.

Baca juga: Jacksen F Tiago Respons Keras Isu Naturalisasi untuk Timnas Indonesia

 

Juga di perpustakaan Leiden, saya pernah menemukan sebuah artikel tentang mereka yang terusir dari negeri yang mereka cintai yaitu Indonesia.

Seorang lelaki berayah Jerman beribu Perancis yang tadinya bekerja di kantor pos di Semarang, pindah ke Jakarta pasca-proklamasi.

Kemudian, dia pindah ke Makassar pasca-Konferensi Meja Bundar 1949, dan harus rela diusir dari tanah kelahirannya dan pergi ke tanah yang ia sama sekali tidak pahami yaitu Eropa.

Kisah lainnya, seorang perempuan keturunan Polandia dan Italia di Garut, terpaksa pergi dari rumahnya di Bandung dan kembali ke tanah leluhurnya di Eropa, dan banyak kisah-kisah lain.

Sudah lama saya selalu penasaran, bagaimana negara yang lama berhubungan dengan bangsa Eropa ini, kini menjadi gamang jika sudah bicara soal orang Eropa.

Kisah di atas mungkin bukan jawaban tepatnya, tetapi kita seperti tercerabut dari sejarah kita sendiri, sesuatu yang telah membentuk banyak peradaban kita sendiri.

Makanya ketika orang-orang macam Ezra Walian, Sandy Walsh, Jordi Amat dan yang lainnya, diajak membela tanah nenek moyangnya, banyak dari kita merasa keberatan.

Fakhri Husaini, yang pernah menjadi pelatih tim usia muda Indonesia dan mantan pemain nasional terkemuka di eranya, pun menyatakan rasa keberatan yang sama.

Padahal apa sih salahnya? Pada konteks sepak bola, tim nasional Inggris sekalipun diisi nama seperti Bamidele Ali atau Bukayo Saka yang jelas bukan nama Inggris.

Clarence Seedorf bahkan tidak lahir di Belanda, tetapi jelas ia adalah pemain besar Belanda dan bukan Jamaika.

Pelatih yang kini melatih Persiba Balikpapan itu jelas tidak sendirian. Banyak sekali pemegang KTP Indonesia mempertanyakan keputusan pemanggilan para keturunan ini dan sering dengan salah kaprah menyamakannya dengan naturalisasi.

Padahal ada hal jauh, jauh dan sangat jauh lebih penting untuk dibicarakan, yaitu seperti apa sih sebetulnya sepak bola kita dijalankan?

Deco Souza lahir di Brasil dan datang ke Portugal sebagai orang Brasil, yang bekerja sebagai atlet sepak bola di negara mantan penjajahnya.

Di Portugal, ia lalu mendapatkan status bintang yang membuatnya punya kesempatan masuk tim nasional dan ikut Piala Dunia.

Baca juga: Langkah Terobosan PSSI dan Istilah Nasionalisasi, Bukan Naturalisasi

 

Deco seperti kemudian Pepe, jelas mengambil pilihan itu, karena penghidupan mereka jadi lebih baik di Portugal, apalagi kesempatan tampil di Piala Dunia ada di depan mata.

Pada masa lalu, legenda terbesar Portugal pun kelahiran Mozambique yang adalah koloni mereka.

Lalu apakah Portugal tidak menghasilkan pemain hebat kelas dunia yang memang lahir di negeri itu?

Sebut Paulo Sousa, Rui Costa, Fernando Gomes, Paolo Futre, Cristiano Ronaldo sampai Joao Cancelo. Semua adalah produk asli Portugal, lahir di sana, dikembangkan oleh dunia sepak bola mereka, dibina, dibimbing dan dikembangkan untuk lalu jadi bintang besar.

Jadi ketika jarak antarnegara menjadi sebuah keniscayaan, mengapa kita malah mempermasalahkannya?

Yang harus menjadi bahan perbaikan bukan kedatangan kembali orang-orang itu, tetapi mengapa kita tidak juga mampu menghasilkan orang-orang seperti mereka, yang walau cuma bermain di Heracles tapi bisa menarik minat kita untuk merekrut mereka.

Andaikan Jordi Amat, Elkan Baggot atau siapa pun itu besar di Indonesia, apakah mereka bisa mencapai level mereka saat ini?

Atau kalau mau lebih sadis, Lionel Messi akan jadi apa kalau misal dia lahir di Bekasi dan kemudian direkrut oleh tim besar dari Jakarta, Bandung atau Surabaya, akankah dia masih menjadi pemain sebesar ini?

“Kita memang dilahirkan di Bumi, tapi tidak ada aturan yang menyebutkan kita harus berkehidupan dan kemudian mati di Bumi, alam terlalu luas untuk tidak kita arungi,” ujar Cooper di film Interstellar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Penyesalan Jose Mourinho Menolak Timnas Portugal

Penyesalan Jose Mourinho Menolak Timnas Portugal

Liga Italia
Kata STY soal Rizky Ridho dan Justin Hubner Serta Misteri Elkan Baggott

Kata STY soal Rizky Ridho dan Justin Hubner Serta Misteri Elkan Baggott

Timnas Indonesia
Saat Eks Liverpool Dukung Guinea Menang Lawan Timnas Indonesia...

Saat Eks Liverpool Dukung Guinea Menang Lawan Timnas Indonesia...

Timnas Indonesia
Indonesia Vs Guinea, Shin Tae-yong Sebut Lini Belakang Garuda Muda Nyaris Runtuh

Indonesia Vs Guinea, Shin Tae-yong Sebut Lini Belakang Garuda Muda Nyaris Runtuh

Timnas Indonesia
Shin Tae-yong Ungkap Kondisi Timnas U23 yang Tidak Baik-baik Saja

Shin Tae-yong Ungkap Kondisi Timnas U23 yang Tidak Baik-baik Saja

Timnas Indonesia
Shin Tae-yong Berharap Masyarakat Indonesia Dukung Kembali Marselino

Shin Tae-yong Berharap Masyarakat Indonesia Dukung Kembali Marselino

Timnas Indonesia
Link Live Streaming Liga Champions Madrid Vs Bayern, Kickoff 02.00 WIB

Link Live Streaming Liga Champions Madrid Vs Bayern, Kickoff 02.00 WIB

Liga Champions
Tekad Sabar/Reza untuk Tembus Level Elite di Tur ASEAN

Tekad Sabar/Reza untuk Tembus Level Elite di Tur ASEAN

Badminton
Indonesia Vs Guinea, Bek Lawan Ungkap Motivasi Besar Hadapi Garuda Muda

Indonesia Vs Guinea, Bek Lawan Ungkap Motivasi Besar Hadapi Garuda Muda

Timnas Indonesia
Penerima Tongkat Estafet Telah Siap, Maman Abdurahman Tak Punya Beban Lagi Menuju Pensiun

Penerima Tongkat Estafet Telah Siap, Maman Abdurahman Tak Punya Beban Lagi Menuju Pensiun

Liga Indonesia
Madrid Vs Bayern, Die Roten Berani dan Percaya Diri

Madrid Vs Bayern, Die Roten Berani dan Percaya Diri

Liga Champions
Eks Asisten Pelatih Timnas Indonesia Tak Kaget Garuda Pertiwi Kewalahan

Eks Asisten Pelatih Timnas Indonesia Tak Kaget Garuda Pertiwi Kewalahan

Timnas Indonesia
Indonesia Vs Guinea: Apa Pun, Tetap Dukung Garuda Muda

Indonesia Vs Guinea: Apa Pun, Tetap Dukung Garuda Muda

Timnas Indonesia
Kemenpora-Bappenas Dorong Pemuda Berjejaring demi Keberlanjutan Kebijakan SDM

Kemenpora-Bappenas Dorong Pemuda Berjejaring demi Keberlanjutan Kebijakan SDM

Sports
Pernyataan Selangor FC soal Faisal Halim Pensiun Dini Usai Disiram Air Keras

Pernyataan Selangor FC soal Faisal Halim Pensiun Dini Usai Disiram Air Keras

Liga Lain
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com