Tentu. Sebagai contoh ketika saya sempat memboikot timnas, ketika saya tidak ingin bergabung dengan timnas KPSI ataupun timnas PSSI. Artinya, kalau kita melakukan itu, kedua tim tak mempunyai pemain. Mau tak mau mereka harus duduk satu meja untuk menyelesaikan permasalahan.
Namun, ketika mereka sama-sama mempunyai tim, semua akan berjalan terus. Itu juga pesan yang ingin saya sampaikan ketika bergabung dengan timnas. Bahwa timnas Indonesia hanya satu, yaitu yang diakui FIFA, yang bisa bermain di AFF. Itu pesan yang ingin saya sampaikan.
Jujur saya katakan bahwa saya lebih nyaman bermain sepak bola 15 tahun yang lalu, ketika saya masih yunior, ketika apa yang ada di kepala saya hanya bermain, bermain, dan bermain.
Dengan berjalannya waktu, saya semakin banyak tahu tentang bagaimana sepak bola dijalankan, bagaimana regulasi yang dijalankan, bagaimana kinerja yang mengurus sepak bola. Di situ saya jadi kehilangan respek. Tidak semua pengurus sepak bola Indonesia murni peduli mengurus sepak bola Indonesia. Saya tidak bisa menutup mata soal itu.
Seperti itu tentunya. Di negara lain, mungkin juga seperti itu, tetapi tidak mencampuri esensi sepak bola itu sendiri, yaitu rasa saling menghargai. Di Indonesia, esensi itu sudah hilang.
Di negeri ini, sepak bola sudah tidak lagi menjadi olahraga masyarakat, tetapi menjadi olahraga para elite pengurus, yang mengatasnamakan rasa cinta terhadap sepak bola sebagai topeng, dengan segala hal bermuatan politik di belakangnya. Mereka tidak lagi memikirkan akibat yang akan diterima oleh para pelaku di lapangan, juga masyarakat yang benar-benar mencintai olahraga paling populer di dunia ini.