Ia kenyang dengan segala pujian, makian, hingga pernah diancam penggemarnya. Tekanan itu terus diterimanya hingga hari ini saat ia juga aktif dalam gerakan advokasi memperjuangkan hak-hak pemain sepak bola melalui Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI). Ia Wakil Presiden APPI. Dengan langkah terakhir itu, ”Bepe”—sapaan populernya—masuk ”10 Pemain Terbaik Asia 2012” di mata kolumnis sepak bola Asia.
Bepe sebenarnya termasuk sosok yang menjaga jarak dengan media. Hanya saat jumpa pers resmi ia biasa buka mulut. Namun, Rabu (9/1), ditemani Mulyawan Munial (Presiden Direktur Munial Sport Group/MSG), dan sahabatnya, Yudhi F Oktaviadi (wartawan tabloid
Jujur awalnya saya sangat kaget karena saya tidak pernah berpikir masuk 10 besar pemain terbaik Asia. Namun, setelah saya baca, bisa dipahami bahwa mungkin tindakan yang saya lakukan membuat mereka mengapresiasi itu.
Jika apa yang saya lakukan diapresiasi positif oleh media asing, untuk itu saya sangat bersyukur. Ini bukti persepakbolaan kita masih dipandang oleh dunia internasional. Namun, sayangnya dalam dua tahun terakhir, apa yang tergambar dari wajah persepakbolaan kita hampir semuanya negatif.
Bagi kami, sepak bola itu kan hakikatnya dimainkan untuk menjalin persahabatan, persatuan. Itu artinya ada saling menghargai. Esensi itu yang hilang. Bagaimana bisa disebut menghargai ketika satu pihak menuntut pihak lain untuk melakukan kewajiban, sedangkan sebagian haknya tak dipenuhi, dan sebaliknya.
Artinya, salah satu komponen yang terkait merasa dirugikan, dalam hal ini pemain. Itu yang coba kita wakili untuk diperjuangkan melalui asosiasi pemain.
Sebenarnya bukan. Kami di APPI adalah pemain-pemain yang cukup senior yang mungkin masa bermainnya tinggal dua sampai tiga tahun lagi. Kami ingin membangun sebuah fondasi kuat bagi generasi di bawah kami.
Artinya, ketika kami memperjuangkan kesetaraan bagi pemain, itu agar mereka tidak lagi dipandang sebelah mata oleh klub dan tidak diperlakukan semena-mena oleh manajemen. Kami berpikir bahwa dengan perjuangan ini, insya Allah, lima, sepuluh, atau 30 tahun lagi pemain tidak lagi diperlakukan seperti ini.
Jujur ini memang hal yang agak sedikit berat bagi kami, bagi saya secara pribadi. Ketika kita membela kepentingan pemain, kita dihadapkan banyak hal. Dengan klub yang berlawanan dengan kita, dengan regulator liga, dengan ”pemerintah” yang memfasilitasi. Artinya, saat ini pemain dibenturkan pada segala sisi.
Ketika saya membela pemain-pemain di Liga Super Indonesia (ISL), saya akan berbenturan dengan klub ISL dan Komite Penyelamatan Sepak Bola Indonesia (KPSI). Ketika saya membela pemain di Liga Primer Indonesia (IPL), saya berhadapan dengan PSSI dan PT Liga Prima Indonesia Sportindo (LPIS). Namun, ini menjadi keharusan bagi kami untuk melakukan itu. Sejauh ini kami kurang puas dengan tanggapan mereka.
Bagaimana izin liga bisa bergulir sementara tanggungan kewajiban klub masih begitu banyaknya. Padahal, jelas-jelas tertera, ketika ada tanggungan klub belum selesai, liga tidak akan berjalan. Nyatanya sekarang (liga) tetap berjalan. Itu menjadi hal yang sangat mengecewakan bagi pemain.
Jelas. Mungkin Anda mengerti ketika kami bertemu Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) dan pemerintah terlihat keberpihakan pada pemain masih sangat minim. Ke mana lagi kami memperjuangkan ini ketika pemerintah pun memberi kelonggaran pada klub untuk menjalankan regulasi yang mereka tetapkan.
Saya setuju ketika pemerintah menyatakan ini pembelajaran buat semua. Pemain juga menerima pembelajaran. Namun, perlu diingat, pembelajaran ini tak hanya satu sisi. Artinya, harus berjalan bersama-sama. Ketika pemerintah mengatakan ini pembelajaran buat pemain, mereka juga harus memberi pembelajaran kepada klub.
Saya tidak ingin mengatakan itu sebuah teror. Namun, bahwa itu mungkin sebuah apresiasi yang sedikit melenceng. Artinya, keberadaan beberapa tekanan ini membuktikan bahwa kami mulai dipandang, mulai mendapatkan atensi mereka. Bahwa mereka mulai sadar, kekuatan pemain itu luar biasa.
Saya tak ingin memerinci satu per satu.
Ya, banyak. Namun, sekali lagi, saya tidak ingin memerinci itu. Memang ada hal itu terjadi, tetapi itu tak akan mengurangi niatan kami, APPI, untuk memperjuangkan pemain.
Banyak pemain tidak berdaya dan kehilangan orientasi terlebih saat sepak bola kita mengalami perpecahan seperti saat ini.
Kebersamaan pemain masih sangat kurang. Artinya, kesadaran berorganisasi itu yang masih minim. Itu yang sebenarnya ingin kami dorong dari sekarang.
Tentu. Sebagai contoh ketika saya sempat memboikot timnas, ketika saya tidak ingin bergabung dengan timnas KPSI ataupun timnas PSSI. Artinya, kalau kita melakukan itu, kedua tim tak mempunyai pemain. Mau tak mau mereka harus duduk satu meja untuk menyelesaikan permasalahan.
Namun, ketika mereka sama-sama mempunyai tim, semua akan berjalan terus. Itu juga pesan yang ingin saya sampaikan ketika bergabung dengan timnas. Bahwa timnas Indonesia hanya satu, yaitu yang diakui FIFA, yang bisa bermain di AFF. Itu pesan yang ingin saya sampaikan.
Jujur saya katakan bahwa saya lebih nyaman bermain sepak bola 15 tahun yang lalu, ketika saya masih yunior, ketika apa yang ada di kepala saya hanya bermain, bermain, dan bermain.
Dengan berjalannya waktu, saya semakin banyak tahu tentang bagaimana sepak bola dijalankan, bagaimana regulasi yang dijalankan, bagaimana kinerja yang mengurus sepak bola. Di situ saya jadi kehilangan respek. Tidak semua pengurus sepak bola Indonesia murni peduli mengurus sepak bola Indonesia. Saya tidak bisa menutup mata soal itu.
Seperti itu tentunya. Di negara lain, mungkin juga seperti itu, tetapi tidak mencampuri esensi sepak bola itu sendiri, yaitu rasa saling menghargai. Di Indonesia, esensi itu sudah hilang.
Di negeri ini, sepak bola sudah tidak lagi menjadi olahraga masyarakat, tetapi menjadi olahraga para elite pengurus, yang mengatasnamakan rasa cinta terhadap sepak bola sebagai topeng, dengan segala hal bermuatan politik di belakangnya. Mereka tidak lagi memikirkan akibat yang akan diterima oleh para pelaku di lapangan, juga masyarakat yang benar-benar mencintai olahraga paling populer di dunia ini.
Ini hal yang tidak dipahami masyarakat. Ketika saya bergabung melawan Valencia, orang pikir, saya berubah. Sebenarnya tidak. Ketika itu, sudah dibentuk Joint Committee. Dalam rapat Joint Committee disebutkan bahwa kompetisi ISL ataupun IPL berada di bawah PSSI. Artinya, ISL sudah di bawah PSSI. Oleh karena itu, saya dan teman- teman bergabung dengan timnas.
Namun, KPSI masih keberatan dan akan menghukum pemain yang bergabung dengan timnas. Saat itu ada kalimat yang menyatakan, kalau pemain tidak kembali, mereka akan membentuk timnas KPSI. Oleh karena itu, demi kebaikan bersama, supaya tidak ada dua timnas, kami keluar dari timnas.
Pada kenyataannya timnas KPSI dibentuk juga. Saya tidak ingin bergabung ke sana. Sebab, saya mempunyai surat dari AFC, FIFA, dan FIFPro yang menyatakan bahwa KPSI tidak berhak membentuk timnas. Pada saat itu saya berpikir, ketika saya tidak boleh melakukan yang benar, jangan paksa saya melakukan hal yang salah.
Dengan bergabung dengan timnas, Anda seperti melawan arus besar. Apa yang membuat Anda berani? Ada yang membekingi Anda?
Saya rasa, tidak. Jujur, tantangan tersebut tidak hanya dari luar. Keluarga saya sendiri pun mempertanyakan keputusan saya. Istri saya, dari tahun 2008, sebenarnya ingin saya pensiun dari timnas. Apalagi, dalam keadaan konflik seperti ini saya melawan arus.
Namun, pada akhirnya saya berpikir ini tanggung jawab moral. Saya pernah merasakan bagaimana begitu bangga bermain untuk timnas, bagaimana kami dicaci maki. Saya pernah merasakan bagaimana kami gagal, bagaimana kami berhasil, dan sebagainya. Banyak yang berpikir, timnas yang kemarin mungkin terburuk dari yang selama ini dikirim. Namun, saya merasa sangat terhormat bermain dengan mereka.
Apakah permintaan istri agar pensiun itu sudah diulang lagi?
(Tertawa) Setiap kali ada pemanggilan timnas, istri saya selalu berdoa agar saya tidak masuk dalam daftar yang dipanggil. Namun, selalu istri saya kecewa. Dia tahu, saya akan tak pernah bisa menolak pemanggilan masuk timnas. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, saya mulai berpikir, mungkin ada saatnya nantinya harus melakukan hal yang lain, memberi kesempatan kepada yang lain.
Apakah karena itu Anda saat ini belum bergabung dengan timnas Pra-Piala Asia?
(Tertawa) Saya tak ingin mengatakan hal yang demikian. Ada sesuatu yang sifatnya penting untuk saya kerjakan di asosiasi, dalam hal ini mengerjakan permasalahan pemain. Saya pun sudah bicara dengan manajemen timnas. Artinya, saya meminta waktu untuk menyelesaikan ini. Saya sebenarnya sudah menyampaikan sinyal seperti di AFF, tetapi sinyal-sinyal itu tidak ditangkap dengan baik.
Sejujurnya saya sedang mulai untuk merintis walaupun saya tidak tahu apakah akan mengambil lisensi atau tidak. Namun, saya akan mencoba untuk memulai dengan kursus awal. Kita lihat nanti, apakah saya akan lanjut atau saya bergelut di bidang lain.
Anda dikenal sebagai pemain yang punya intelektualitas, kecerdasan berpikir, dan kemampuan mengartikulasikannya. Bagaimana Anda mengisi kapasitas intelektualitas Anda?
Saya adalah pribadi yang suka membaca. Apa pun saya baca. Itu sedikit banyak memberikan rangsangan pada otak saya untuk berpikir.
Saya menulis lebih karena keterpaksaan. Mungkin rekan-rekan media tahu, saya orang yang tertutup kepada media. Namun, bukan pribadi yang
Saya memilih menulis karena semuanya lebih detail. Saya bisa menyampaikan segala permasalahan, segala ide, pandangan saya tentang profesi saya lebih detail dan lebih apa adanya. Oleh (karena) itulah saya menulis.