Sebenarnya bukan. Kami di APPI adalah pemain-pemain yang cukup senior yang mungkin masa bermainnya tinggal dua sampai tiga tahun lagi. Kami ingin membangun sebuah fondasi kuat bagi generasi di bawah kami.
Artinya, ketika kami memperjuangkan kesetaraan bagi pemain, itu agar mereka tidak lagi dipandang sebelah mata oleh klub dan tidak diperlakukan semena-mena oleh manajemen. Kami berpikir bahwa dengan perjuangan ini, insya Allah, lima, sepuluh, atau 30 tahun lagi pemain tidak lagi diperlakukan seperti ini.
Jujur ini memang hal yang agak sedikit berat bagi kami, bagi saya secara pribadi. Ketika kita membela kepentingan pemain, kita dihadapkan banyak hal. Dengan klub yang berlawanan dengan kita, dengan regulator liga, dengan ”pemerintah” yang memfasilitasi. Artinya, saat ini pemain dibenturkan pada segala sisi.
Ketika saya membela pemain-pemain di Liga Super Indonesia (ISL), saya akan berbenturan dengan klub ISL dan Komite Penyelamatan Sepak Bola Indonesia (KPSI). Ketika saya membela pemain di Liga Primer Indonesia (IPL), saya berhadapan dengan PSSI dan PT Liga Prima Indonesia Sportindo (LPIS). Namun, ini menjadi keharusan bagi kami untuk melakukan itu. Sejauh ini kami kurang puas dengan tanggapan mereka.
Bagaimana izin liga bisa bergulir sementara tanggungan kewajiban klub masih begitu banyaknya. Padahal, jelas-jelas tertera, ketika ada tanggungan klub belum selesai, liga tidak akan berjalan. Nyatanya sekarang (liga) tetap berjalan. Itu menjadi hal yang sangat mengecewakan bagi pemain.
Jelas. Mungkin Anda mengerti ketika kami bertemu Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) dan pemerintah terlihat keberpihakan pada pemain masih sangat minim. Ke mana lagi kami memperjuangkan ini ketika pemerintah pun memberi kelonggaran pada klub untuk menjalankan regulasi yang mereka tetapkan.