Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Wajah Nasionalisme Papua

Kompas.com - 16/12/2012, 03:40 WIB

Masa penjajahan Belanda di Indonesia selama 350 tahun dianggap mengandung banyak ketidakbenaran dan kesalahan persepsi, sebab tidak bisa dipukul-rata seluruh wilayah Indonesia dijajah selama itu. Aceh misalnya, baru ditaklukkan pada 1904, dan Bali pada 1906. Dengan berasumsi pada akhir pendudukan kolonial, saat Jepang masuk pada 1942, maka Aceh paling lama dijajah selama 38 tahun dan Bali 36 tahun. Wilayah terlama dijajah adalah Maluku, Banten, dan Jakarta, mencapai 340 tahun.

Dalam kumpulan esai tentang interaksi antara Nusantara dengan Eropa ini, penulis mencoba mengurai fakta dari setiap tema yang dibahas. Soal penjajahan Belanda, jika kita tetap menganggap selama 350 tahun, maka kita menafikan perjuangan rakyat Aceh dan Bali yang mati-matian mempertahankan wilayahnya. Seperti Tjut Nyak Dhien dianggap memberontak terhadap Belanda, padahal ia mempertahankan kedaulatan Aceh. Faktanya, sampai akhir abad ke-19, Aceh adalah negara berdaulat dan menempatkan duta besarnya sampai ke Turki.

Kesalahan persepsi seperti ini terjadi pula pada sejarah bahasa Indonesia. Mengapa kita tidak berbahasa Belanda, seperti negara jajahan lain yang menggunakan bahasa koloni mereka. Jawabnya karena Belanda menerapkan politik berbahasa. Selain itu, mentalitas VOC yang hanya mementingkan laba, membuat mereka memilih belajar bahasa Melayu ketimbang menyebarkan bahasa Belanda.

Warga Indonesia yang sudah 25 tahun menetap di Belanda ini juga menguraikan interaksi Nusantara dengan Eropa di bidang musik, terutama gamelan. Adalah Claude Debussy, komponis asal Perancis yang memasukkan unsur gamelan Sunda ke dalam komposisi piano pada 1903. Diikuti komponis Francis Poulenc yang memasukkan unsur gamelan Bali saat konser piano pada 1932. (TGH/Litbang Kompas)

*** 

• Judul: The Making of New Zealanders 
• Penulis: Ron Palenski 
• Penerbit: Auckland University Press, 2012 
• Tebal: viii+382 halaman 
• ISBN: 978-1-86940-726-1 

Pada awalnya, hanya suku Maori yang menyandang predikat orang Selandia Baru (The New Zealanders). Penduduk lainnya adalah para imigran dari daratan Eropa. Masa 1880-an, seiring tumbuhnya generasi baru, laki dan perempuan, yang lahir di Selandia Baru, pemahaman itu berubah. Identitas warga negara menempatkan Selandia Baru sebagai tanah kelahiran, disertai komitmen untuk setia dan mengabdi pada negaranya.

Rasa memiliki dan bertanggung jawab tidak hanya tercermin melalui identifikasi pada lingkungan fisik dan batasan geografis tanah air, namun juga melalui waktu. Dimensi ini meletakkan seseorang berbeda dengan orang lain yang berada di tempat berbeda. New Zealand adalah negara yang merintis pembakuan waktu tunggal. Keseragaman yang mulanya untuk alasan pragmatis, menjadi instrumen sentralisasi dan pemersatu. Ini menandai langkah menuju modernitas dan identitas nasional yang menjadi faktor menguntungkan untuk memisahkan diri dari wilayah Australia lainnya.

Studi doktoral penulis ini menunjukkan Selandia Baru secara bertahap membangun citranya sebagai sebuah bangsa yang berbeda, tidak tergantung dan tidak berkiblat pada New South Wales, dan Inggris. Ia menjadi negara pertama di dunia yang memberikan hak pada perempuan untuk memilih. Selandia Baru juga memberikan pengakuan kepada Maori sehingga suku ini mempunyai perwakilan di parlemen. (THA/Litbang Kompas)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com