Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Wajah Nasionalisme Papua

Kompas.com - 16/12/2012, 03:40 WIB

Amiruddin al-Rahab

• Judul: Nasionalisme Ganda Orang Papua 
• Penulis: Bernarda Meteray 
• Penerbit: Penerbit Buku Kompas, 2012 
• Tebal: xxix + 301 halaman 
• ISBN: 978-979-709-644-1

Nasionalisme sebagai ekspresi politik, adalah temuan baru, seumur dengan surutnya kolonialisme. Dalam kajian sejarah, nasionalisme di belahan dunia mana pun tidak pernah berakar tunggal, termasuk di Papua. Bernarda Meteray secara cemerlang menunjukkan hal itu. 

Ekspresi nasionalisme umumnya lebih tertuju pada cita-cita politik akan masa depan, ketimbang upaya mencari-cari ”tali pusat” ke masa lalu. Masa lalu bagi para propagandis nasionalisme lebih merupakan upaya untuk menambah percaya diri, bahwa masa depan bisa dibangun dengan puing-puing masa lalu. Singkatnya, nasionalisme dalam gerakan politik, lebih merupakan upaya untuk membangun identitas masa kini.

Dalam membangun identitas masa kini itulah, konsep Ben Anderson tentang ”imagined community”, komunitas yang secara sosial dikonstruksi, sungguh sangat tepat untuk meneropong masalah-masalah gerakan nasionalisme di abad ini. Buku karya Bernarda Meteray ini sesungguhnya memaparkan bagaimana sebuah masyarakat masa depan, dibayangkan identitasnya oleh para propagandis nasionalisme di Papua yang bergumul antara identitas kepapuaan dengan keindonesiaan.

Benang merah yang bisa kita tarik dari buku ini adalah wajah nasionalisme Papua dan nasionalisme Indonesia yang berada dalam pergumulan yang tiada henti. Dalam tarik-menarik itu masing-masing saling mengisi dan mematangkan diri. Dalam kerangka pikir seperti itulah buku Bernarda ini mestinya kita nikmati dengan santai dan akal sehat, tanpa memberi beban politik yang berlebihan terhadap sebuah karya ilmiah, yang semula disertasi doktoral ini. Sebab, dalam seluruh paparannya, Bernarda tidak menyalahkan dan sekaligus membenarkan.

Dengan menggunakan konsepsi ”penyemaian”, Bernarda secara perlahan mengajak pembacanya memasuki proses idealisasi sebuah masyarakat, dialektika yang menjadi lahan pergumulan kepapuaan dan keindonesiaan.

Konstruksi nasionalisme Papua dimulai oleh penulis dalam Bab 3. Intinya adalah bibit nasionalisme Papua ditebarkan oleh misi pendidikan yang dibawa para pegiat keagamaan, khususnya Kristen dengan mendirikan sekolah-sekolah berasrama sebagai rendezvouz untuk anak-anak Papua dari berbagai puak dan suku.

Semua bermula dari Sekolah Guru di Mansinam dan Miei tahun 1923. Adalah IS Kijne, sosok guru yang memelopori dan mengajarkan rasa nasionalisme kepada anak-anak Papua agar mereka bisa keluar dari kurungan puak dan sukunya. Bacaan sekolah Seruling Emas dan Kota Emas adalah sarananya (hal 30-37). Sayangnya, diakhir bab itu Bernarda meragukan jelujur argumentasinya sendiri, dengan mengatakan ”kesadaran kepapuaan yang muncul di masa ini tidak ada kaitannya dengan politik, apalagi menuju konstruksi masa depan Papua sebagai negara bangsa” (hal 50).

Ragu

Akibat posisi berpikir yang ragu tersebut, identitas Papua yang politik seolah tak terjamah. Meskipun Bernarda memercayai bahwa pendidikan pola asrama menjadi lahan subur bagi tumbuhnya bibit nasionalisme Papua, namun bagaimana pendidikan itu bisa mentransformasikan pandangan dari identitas suku-suku menjadi identitas Papua yang politik, tidak mendapatkan penjelasan yang memadai.

Oleh karena itu, terasa ada loncatan induktif pada Bab 7. Dalam bab ini Bernarda langsung menyodorkan bahwa nasionalisme Papua tumbuh seiring dengan perselisihan Indonesia dengan kekuatan kolonialis Belanda yang telah sekarat. Nasionalis Papua, tiba-tiba muncul ke permukaan dengan mempersoalkan KMB tahun 1949.

Sementara pada Bab 6, penulis menguraikan daya upaya kolonial Belanda untuk mematahkan Indonesia pasca-KMB. Pelopor strategi politik seperti itu adalah Jan van Eechoud dan Van Mook, dengan mengobarkan bahwa Papua pasca-KMB bukan lagi bagian dari administrasi pemerintahan Hindia Belanda di Batavia (Jakarta).

Sesungguhnya, paparan Bernarda pada Bab 5 memperkuat kandungan Bab 6 yang menunjukkan bahwa penyemai nasionalisme Papua tak lain dan tak bukan adalah Belanda dengan protagonis van Eechoud dan van Mook sepanjang tahun 1950 sampai 1962. Kedua tokoh kolonialis inilah yang menciptakan sosok Papua yang imagined, yang berlawanan dengan sosok Indonesia. Lahan persemaiannya adalah pergumulan politik antara kolonialis Belanda yang surut dengan Indonesia yang baru bangkit. Tokoh-tokoh terdidik Papua terombang-ambing dalam pergumulan tersebut.

Dalam Bab 8, penulis menunjukkan keterombang-ambingan itu secara baik. Di mana pemerintah kolonial Belanda di Papua memompa semangat nasionalisme Papua dengan membenahi pemerintahan dan memberi ruang bagi tumbuhnya bibit Papua yang dibayangkan, melalui pembentukan partai-partai politik dan Dewan Papua. Pelantikan Dewan Papua tanggal 5 April 1961 adalah puncaknya.

Di saat pergumulan dalam Dewan Papua bergelora, pemerintah kolonial Belanda dilanda kekhawatiran yang luar biasa oleh gerakan Soekarno. Ketidakjelasan sikap pemerintah kolonial Belanda itulah yang menyebabkan peristiwa tanggal 1 Desember 1961 di Dewan Papua dipandang oleh Bernarda sebagai ”bukan peristiwa kemerdekaan bangsa Papua” (hal 236). Peristiwa itu akhirnya juga menimbulkan perpecahan dikalangan elite Papua (hal 251).

Sementara sebagai kritik, dapat dikemukan bahwa Bernarda dalam menulis agak terburu-buru memandang nasionalisme Indonesia sebagai sesuatu yang utuh menyeluruh vis a vis melawan nasionalisme Papua. Padahal fenomena gerakan nasionalis di berbagai daerah Indonesia ini memiliki corak sendiri-sendiri, Papua bukan pengecualian. Artinya tidak ada pola dan modus yang sama menuju menjadi Indonesia di seluruh Nusantara ini.

Amiruddin al-Rahab Peminat Sejarah dan Analis Politik Papua, Juru Bicara dan Asisten Ahli Kepala UP4B

*** 

• Judul: Saling Silang Indonesia-Eropa: Dari Diktator, Musik, hingga Bahasa 
• Penulis: Joss Wibisono 
• Penerbit: Marjin Kiri,2012 
• Tebal: xiv+228 halaman 
• ISBN: 978-979-1260-16-9 

Masa penjajahan Belanda di Indonesia selama 350 tahun dianggap mengandung banyak ketidakbenaran dan kesalahan persepsi, sebab tidak bisa dipukul-rata seluruh wilayah Indonesia dijajah selama itu. Aceh misalnya, baru ditaklukkan pada 1904, dan Bali pada 1906. Dengan berasumsi pada akhir pendudukan kolonial, saat Jepang masuk pada 1942, maka Aceh paling lama dijajah selama 38 tahun dan Bali 36 tahun. Wilayah terlama dijajah adalah Maluku, Banten, dan Jakarta, mencapai 340 tahun.

Dalam kumpulan esai tentang interaksi antara Nusantara dengan Eropa ini, penulis mencoba mengurai fakta dari setiap tema yang dibahas. Soal penjajahan Belanda, jika kita tetap menganggap selama 350 tahun, maka kita menafikan perjuangan rakyat Aceh dan Bali yang mati-matian mempertahankan wilayahnya. Seperti Tjut Nyak Dhien dianggap memberontak terhadap Belanda, padahal ia mempertahankan kedaulatan Aceh. Faktanya, sampai akhir abad ke-19, Aceh adalah negara berdaulat dan menempatkan duta besarnya sampai ke Turki.

Kesalahan persepsi seperti ini terjadi pula pada sejarah bahasa Indonesia. Mengapa kita tidak berbahasa Belanda, seperti negara jajahan lain yang menggunakan bahasa koloni mereka. Jawabnya karena Belanda menerapkan politik berbahasa. Selain itu, mentalitas VOC yang hanya mementingkan laba, membuat mereka memilih belajar bahasa Melayu ketimbang menyebarkan bahasa Belanda.

Warga Indonesia yang sudah 25 tahun menetap di Belanda ini juga menguraikan interaksi Nusantara dengan Eropa di bidang musik, terutama gamelan. Adalah Claude Debussy, komponis asal Perancis yang memasukkan unsur gamelan Sunda ke dalam komposisi piano pada 1903. Diikuti komponis Francis Poulenc yang memasukkan unsur gamelan Bali saat konser piano pada 1932. (TGH/Litbang Kompas)

*** 

• Judul: The Making of New Zealanders 
• Penulis: Ron Palenski 
• Penerbit: Auckland University Press, 2012 
• Tebal: viii+382 halaman 
• ISBN: 978-1-86940-726-1 

Pada awalnya, hanya suku Maori yang menyandang predikat orang Selandia Baru (The New Zealanders). Penduduk lainnya adalah para imigran dari daratan Eropa. Masa 1880-an, seiring tumbuhnya generasi baru, laki dan perempuan, yang lahir di Selandia Baru, pemahaman itu berubah. Identitas warga negara menempatkan Selandia Baru sebagai tanah kelahiran, disertai komitmen untuk setia dan mengabdi pada negaranya.

Rasa memiliki dan bertanggung jawab tidak hanya tercermin melalui identifikasi pada lingkungan fisik dan batasan geografis tanah air, namun juga melalui waktu. Dimensi ini meletakkan seseorang berbeda dengan orang lain yang berada di tempat berbeda. New Zealand adalah negara yang merintis pembakuan waktu tunggal. Keseragaman yang mulanya untuk alasan pragmatis, menjadi instrumen sentralisasi dan pemersatu. Ini menandai langkah menuju modernitas dan identitas nasional yang menjadi faktor menguntungkan untuk memisahkan diri dari wilayah Australia lainnya.

Studi doktoral penulis ini menunjukkan Selandia Baru secara bertahap membangun citranya sebagai sebuah bangsa yang berbeda, tidak tergantung dan tidak berkiblat pada New South Wales, dan Inggris. Ia menjadi negara pertama di dunia yang memberikan hak pada perempuan untuk memilih. Selandia Baru juga memberikan pengakuan kepada Maori sehingga suku ini mempunyai perwakilan di parlemen. (THA/Litbang Kompas)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com