Menjelang dan pascatumbangnya Ketua Umum PSSI Nurdin Halid, pesepak bola profesional Indonesia terbelah di dua kompetisi, yakni LPI dan LSI. Sebelum Nurdin tumbang, LPI adalah kompetisi tandingan (
”Pernyataan sikap kami untuk membuktikan, kedua liga itu tak ada yang benar. Kami di sini datang dari LPI dan LSI,” kata Bambang Pamungkas, Wakil Presiden APPI. ”Jika ada (liga) yang mengaku paling benar, itu omong kosong.”
”Posisi pemain paling rentan dalam situasi ricuh seperti ini. Pengurus punya pekerjaan lain di luar sepak bola. Namun, kami hidup dari sepak bola,” kata Firman Utina, gelandang Sriwijaya FC.
”Beberapa pemain asing terancam karena KITAS (kartu izin tinggal terbatas) tak diurus klub. Saat berjalan di luar, mereka harus menutup muka dengan topi agar tidak dikenali petugas.”
Terkait buruknya klub-klub di Tanah Air dalam membayar gaji pemain, APPI mendorong agar kompetisi musim depan hanya diikuti klub-klub yang memiliki jaminan finansial dan biaya operasional, minimal satu musim.
Bukan rahasia lagi, kisruh atas sepak bola Indonesia berakar dari bergulirnya dua liga dan munculnya dualisme pengurus asosiasi (PSSI dan KPSI). Untuk itu, dalam pernyataan sikap lainnya, APPI mendukung dan berharap hanya ada satu liga di bawah satu kepengurusan federasi yang diakui sah oleh FIFA.
Mereka juga menginginkan ada perlindungan hak pemain untuk tampil membela timnas. Dalam hal ini, FIFA—yang memberi batas waktu bagi Indonesia untuk menyelesaikan kisruh sepak bola nasional hingga 15 Juni mendatang—diminta bersikap tegas tanpa memberi sanksi kepada Indonesia.