Dengan risiko penjara atau tewas kalau ditangkap oleh sebuah rezim yang memandangnya sebagai musuh, tenaga medis Saw Poe Aye (34) menjelajahi hutan-hutan di Myanmar untuk membantu orang- orang yang terperangkap dalam salah satu perang saudara tertua dunia.
Ratusan orang seperti dia menjelajahi daerah perbatasan timur Myanmar yang miskin untuk memberi obat, perawatan, dan pendidikan kepada penduduk desa dari etnis Karen ataupun etnis-etnis minoritas lain yang tidak punya akses ke layanan kesehatan dasar.
Dari basis mereka di kota perbatasan Thai, Mae Sot, para anggota Back Pack Health Worker Team menyelundupkan obat-obatan melintasi perbatasan. Namun, mereka melarikan diri begitu ada tanda-tanda serdadu Myanmar muncul.
Organisasi nirlaba itu, yang bergantung pada donasi itu, mengatakan, sejak dibentuk tahun 1998, sembilan tenaga medis dan seorang bidan telah tewas oleh tentara rezim atau ranjau, yang paling akhir bulan Juli 2010. Beberapa tenaga medis lainnya telah dipenjarakan.
”Kalau tidak lari, kami akan ditembak karena rezim memandang kami sebagai sebuah oposisi, bukan sebagai pekerja kesehatan,” kata Saw Poe Aye dari wilayah Karen.
”Daerah kami mempunyai banyak gunung dan hutan. Kerap kali diperlukan dua sampai tiga jam untuk berjalan antardesa,” kata bapak satu anak itu di Mae Sot.
Organisasi itu memiliki sekitar 300 tenaga medis yang melayani populasi 180.000 orang di 320 desa di daerah yang termasuk wilayah Karen, Karenni, Mon, Arakan, Kachin, dan Shan.
Tiap tim terdiri dari tiga sampai lima tenaga medis. Mereka kembali ke Thailand dua kali setahun untuk pelatihan dan mengambil pasokan.
Saw Poe Aye perlu empat hari dengan bus, perahu, dan berjalan kaki dari Mae Sot ke area yang dikuasai pemberontak tempat dia bekerja untuk mengobati penyakit, termasuk malaria, cacingan, diare, dan luka perang.
Tim medis itu bepergian beberapa bulan sekaligus, melewatkan sedikitnya tiga hari di tiap desa, dan menempuh 1.000 kilometer sekali perjalanan.
Hubungan mereka dengan kelompok-kelompok bersenjata menimbulkan pertanyaan mengenai netralitas mereka. Namun, para medis itu mengatakan sekadar mengisi kekosongan yang ditinggalkan ketiadaan organisasi bantuan internasional atau pekerja kesehatan negara.