Bicara soal PSSI saat ini, maaf saja, tidak ada yang manis. Celakanya, PSSI sendiri semakin tidak peduli dengan kritik dari luar. Seolah, ”anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu”.
Cara kerja seperti ini yang, salah satunya, dipakai PSSI untuk menghadirkan anggota peserta kongres di Bali. Kehadiran sebagian peserta kongres dimanipulasi.
Sesuai dengan Statuta FIFA, peserta mendapat pemberitahuan soal kongres selambat-lambatnya delapan pekan sebelum acara. Sementara undangan dikirim selambat-lambatnya empat pekan sebelum kongres. PSSI tidak mematuhi regulasi ini. Surat pemberitahuan yang ditandatangani Sekjen PSSI Nugraha Besoes tertanggal 17 Desember 2010 menyebut akan ada kongres tahunan di Bali, 21-24 Januari 2011. Kemudian, surat kedua muncul tertanggal 13 Januari 2011. Ini berarti PSSI tidak mematuhi tenggat waktu delapan dan empat pekan dalam memberitahukan dan mengundang anggota.
Keanehan kedua lebih parah. Pada surat pertama tertanggal 17 Desember, peserta dari Divisi Utama sampai Divisi III disebutkan diambil dari hasil kompetisi periode 2008-2009. Adapun untuk kompetisi Liga Super Indonesia (LSI) tidak disebut musim kompetisi tahun berapa.
Di surat kedua tertanggal 13 Januari 2011, juga ditandatangani Nugraha Besoes, PSSI tak lagi mencantumkan peserta dari hasil kompetisi tahun berapa. Di sini PSSI terlihat mengaburkan keabsahan anggota peserta.
Keanehan ketiga, peserta kongres yang menerima undangan sampai hari Selasa (18/1) berasal dari hasil kompetisi yang berbeda. Tidak semua dari satu kompetisi pada tahun yang sama sesuai dengan regulasi di Statuta FIFA dan Statuta PSSI yang sudah disempurnakan.
Jika para peserta yang diundang berdasarkan hasil musim kompetisi yang sedang berlangsung (2010-2011), mengapa ada peserta yang berasal dari hasil kompetisi 2008-2009 dan 2009-2010? Bahkan, disinyalir ada juga pengurus cabang (pengcab) yang diundang PSSI untuk hadir di Bali. Padahal, mereka tak memiliki hak suara di kongres.
Dalam sepekan terakhir, PSSI bagaikan kebakaran jenggot. Mereka harus melakukan pembicaraan intens dengan FIFA karena adanya ancaman pembekuan dari FIFA terhadap Indonesia. Pasalnya, FIFA menganggap PSSI tidak bisa menghentikan kompetisi Liga Primer Indonesia (LPI).
Oleh FIFA, kehadiran LPI dianggap tidak lepas dari adanya unsur campur tangan pemerintah. Akibatnya, organisasi tertinggi sepak bola dunia itu langsung memberikan ”lampu kuning” kepada PSSI agar segera membenahi LPI. Jika tidak, FIFA akan mengambil sikap tegas.
Sebetulnya, bagi FIFA, bukan sosok LPI yang dirisaukan. Namun, mengapa ada keterlibatan pemerintah? Karena selama ini FIFA memang dengan tegas melarang ada campur tangan pemerintah terhadap sebuah federasi di sebuah negara.
Jika memang FIFA membuka pintu berdialog dengan LPI, mungkin output dari FIFA terhadap kehadiran LPI akan berbeda dari pernyataan yang dikeluarkan PSSI beberapa hari lalu soal adanya surat dari FIFA.
Kalau sampai FIFA, pada pertemuan 1 Maret nanti, membekukan Indonesia dari semua kegiatan internasional, kita hanya bisa mengelus dada sambil berbisik, ”PSSI..., oh PSSI...!”