KOMPAS.com - Klub raksasa Filipina, Ceres Negros, belum lama ini mengumumkan kebangkrutannya.
Klub juara Liga Filipina dalam tiga tahun terakhir (2017, 2018, 2019) itu harus tamat riwayatnya imbas dari kesulitan finansial yang dialami pemilik sebagai akibat dari pandemi virus corona.
Melalui akun media sosial klub, manajemen Ceres Negros menyatakan tengah dalam pembicaraan dengan calon investor baru yang akan mengambil alih manajemen dan kepemilikan klub sebagai persiapan menghadapi Liga Filipina dan Piala AFC 2020.
Jika nantinya Ceres Negros resmi berganti pemilik, nama klub serta identitas lainnya akan segera berganti.
"Begitu pengambil alihan selesai, klub tidak akan lagi dikenal sebagai Ceres-Negros karena pemilik saat ini, Leo Rey Yanson tidak akan sama sekali terlinat dalam urusan klub," tulis pihak Ceres.
"Ini adalah salah satu keputusan terberat yang dibuat oleh Mr. Yanson, yang hasratnya terhadap sepak bola tercermin pada cara dia menuangkan sumber daya pribadinya dan mengarahkan klub ke level yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak dibentuk delapan tahun lalu."
Pada Piala AFC 2018, Ceres berhasil masuk final Zona ASEAN, sebelum dikalahkan Home United (Singapura) di final.
Beberapa tahun terakhir, Ceres Negros bahkan kerap jadi batu sandungan bagi klub asal Indonesia.
Bangkrutnya Ceres Negros merupakan bukti bahwa klub sepak bola sangat rentan jika hanya bergantung pada uang pemilik.
Hal inilah yang melatar belakangi munculnya financial fair play di Eropa pada 2011.
Dalam aturan FFP, pemilik klub tidak boleh menyuntikkan dana pribadinya ke klub.
Pemilik hanya boleh menjembatani kerja sama klub dengan perusahan-perusahaan miliknya, tentunya tetap berada di bawah pengawasan UEFA.
Tidak boleh ada kesepakatan main mata yang melanggar nilai pasar. Jika ketahuan, hukuman sudah menanti.
Sejak pertama kali diterapkan pada 2011 silam, tercatat sudah ada sejumlah klub papan atas yang terkena sanksi, seperti Manchester City, Paris Saint-Germain, dan AC Milan.
FFP mulai diterapkan pada 2011 saat UEFA dipimpin Michael Platini. Tujuan penerapannya untuk mencegah klub terlilit masalah utang piutang yang tentu saja mengancam eksistensi klub tersebut.
Jadi, setiap klub wajib menyeimbangkan neraca keuangannya.
Selain itu, FFP diterapkan untuk mencegah klub yang glamor karena mengandalkan uang pemilik.
Adanya FFP diyakini akan membuat klub-klub bersaing sehat dalam hal keuangan dan hanya mengandalkan sumber yang "halal" dalam dunia sepak bola, seperti jual-beli pemain, pendapatan hak siar, penjualan merchandise, dan berupaya berprestasi demi meningkatkan nilai komersial klub.
Singkat kata, FFP akan mengharuskan semua klub mandiri untuk mengatur keuangannya.
Jadi, klub tidak boleh melakukan belanja di luar kemampuannya.
Bila ingin membeli pemain dengan harga mahal, klub tersebut harus punya neraca keuangan sehat.
Klub yang ingin melakukan pembelian dalam jumlah besar biasanya juga akan lebih dulu melakukan penjualan dalam jumlah besar.
Tidak boleh ada lagi klub yang mengandalkan dana pembelian pemain dari sumber utang ataupun kontribusi berlebihan dari uang pribadi pemilik klub.
Mulai diterapkannya FFP sebenarnya bukan tanpa sebab.
Selain berupaya menciptakan persaingan yang sehat, UEFA sendiri belajar dari banyaknya kasus klub bangkrut karena terlalu mengandalkan uang pemilik.
Salah satunya pernah dialami klub Liga Italia, Parma. Pada era 90-an, Parma merupakan salah satu tim elite di negeri pizza.
Promosi ke Serie A pada musim 1990-1991, Parma langsung melesat menjadi tim dengan segudang prestasi untuk ukuran tim yang baru naik kasta.
Cepat melesatnya Parma bukan hal yang mengherankan saat itu. Sebab, klub tersebut cukup mudah menarik minat pemain bintang.
Pada pertengahan dekade 90-an, Parma diperkuat nama-nama besar, dari mulai Hernan Crespo, Enrico Chiesa, Juan Veron, Fabio Cannavaro, Lilian Thuram, hingga Gianluigi Buffon.
Kuatnya finansial Parma dalam mendatangkan pemain tak lepas dari sokongan Parmalat, perusahaan susu dan makanan yang mulai menjadi pemilik klub tersebut sejak 1991.
Namun, kejayaan Parma hanya berlangsung singkat.
Tahun 2003 adalah titik awal kehancuran mereka. Pada tahun tersebut, Parmalat mulai mengalami kesulitan finansial sampai akhirnya bangkrut.
Pada saat yang sama, Parma untuk pertama kalinya finis di luar enam besar klasemen akhir Serie A.
Setelah beberapa kali berganti nama dan didepak ke Serie D, Parma akhirnya kembali berlaga pada musim 2018-2019.
Namun, hingga kini Parma belum berhasil kembali ke jajaran tim elite Serie A.
https://bola.kompas.com/read/2020/07/11/15300078/bangkrutnya-ceres-negros-bukti-klub-sepak-bola-tak-boleh-bergantung-pada-uang