Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Jejak Rivalitas Sepak Bola Indonesia di Mata Suporter

KOMPAS.com - Duka kembali menyelimuti jagat sepak bola Indonesia. Satu suporter meninggal dunia dalam laga klasik Persib Bandung kontra Persija Jakarta, Minggu (23/9/2018).

Insiden ini menimpa Haringga Sirla, pemuda 23 tahun yang menjadi anggota The Jak Mania, kelompok suporter Persija Jakarta.

Haringga tewas setelah dikeroyok sejumlah oknum pendukung tim tuan rumah di halaman parkir Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), Bandung, sebelum pertandingan dimulai.

Menurut data SOS, Haringga menjadi korban ketujuh rivalitas antara Persib dan Persija. Lantas, apa penyebab rivalitas Persib dan Persija hingga banyak memakan korban jiwa?

Persija dan Persib sebenarnya bukan merupakan rival ketika sama-sama berkompetisi di Era Perserikatan.

Ketua umum The Jakmania, Ferry Indra Sjarief, menjelaskan rivalitas dengan Bobotoh tumbuh sejak 2000, yakni saat Liga Indonesia memasuki musim keenam.

Ferry mengisahkan sejarah konflik kedua kelompok suporter ini melalui sebuah tulisan berjudul The Jakmania kontra Viking (salah satu organisasi pendukung Persib) di akun Facebook pribadinya.

Menurut Ferry, gesekan fisik kedua kubu suporter ini kali pertama terjadi di putaran kedua kompetisi musim 1999-2000. Saat itu, Persija akan bertandang ke Stadion Siliwangi, markas Persib kala itu.

Pada putaran pertama, beberapa kelompok pendukung Persib datang ke Stadion Lebak Bulus, markas Persija saat itu, untuk mendukung Persib. Pertandingan itu berjalan lancar dan tidak ada gesekan antara suporter kedua kubu.

Viking berniat mengundang The Jakmania ke Kota Bandung pada putaran kedua. Setelah melalui proses yang panjang, pada akhirnya rombongan The Jakmania tiba di Stadion Siliwangi di hari pertandingan.

Namun, karena permasalahan tiket, The Jakmania dan Bobotoh di luar stadion sempat ricuh meski berhasil diredam Kepolisian.

Belum kering ingatan tentang kericuhan ini, satu tahun berselang kedua kubu kembali bertikai.

Acara kuis yang ditayangkan salah satu televisi swasta di Jakarta pada 2001 menjadi faktor penyebabnya. The Jakmania dan Viking terlibat kontak fisik setelah sebelumnya beradu argumen.

Sama seperti bola salju, rivalitas kedua kelompok suporter ini semakin membesar setelah dua peristiwa itu.

Saling ejek di atribute suporter, lagu, hingga sentimen di luar stadion adalah beberapa faktor yang membuat rivalitas keduanya semakin panas.

Selain itu, perpindahan pemain antar kedua tim juga secara tidak langsung menambah bumbu rivalitas. Kapten Persib saat ini, Atep, sebelumnya adalah pemain Persija.

Nama Atep muncul ke permukaan ketika berseragam Persija pada periode 2004 hingga 2008.

Atep kemudian bergabung ke Persib dan menjadi salah satu aktor kesuksesan skuat Maung Bandung ini menjuarai Liga Indonesia musim 2013-2014.

Merunut Pangkal Permusuhan

Hampir sama seperti Bobotoh dan The Jakmania, rivalitas tinggi antara dua kubu suporter juga terjadi di bagian timur Pulau Jawa.

Bonek Mania, pendukung Persebaya Surabaya, dan Aremania, pendukung Arema, telah lama berseteru.

Dari catatan SOS, korban meninggal dunia di sepak bola Indonesia paling banyak berasal dua kelompok suporter ini.

Sejak 1995, sedikitnya 16 anggota Bonek Mania dan sembilan Aremania meninggal dunia.

Korban meninggal dunia disebabkan beberapa faktor, seperti pengeroyokan, tembakan gas air mata, hingga kecelakaan, entah saat Arema dan Persebaya bertemu atau ketika berjumpa tim lain.

Salah satu tokoh Bonek Mania, Andie Peci, menyebutkan penyebab utama rivalitas dengan Aremania tidak bisa dijelaskan.

Bahkan, Andie menjelaskan rival Persebaya dulu bukan Arema, melainkan Persema Malang.

"Sepanjang yang saya ketahui dari pengalaman dan cerita, sampai sekarang belum ada yang bisa menyimpulkan akar rivalitas antara Persebaya dan Arema. Tidak ada yang bisa memastikan," kata Andie kepada Kompas.com, Senin (24/9/2018).

"Persebaya dulu rival dengan Persema Malang. Rivalitas itu kemudian sudah tertutup dan menjadi masa lalu. Sekarang sudah tertumpuk rivalitas dengan Arema yang mewakili identitas Malang," ucap Andie menambahkan.

Terdapat berbagai versi yang mengisahkan bagaimana awal rivalitas antara Bonek dan Aremania.

Versi pertama disebutkan dipicu kontak fisik yang terjadi di sebuah konser musik pada 1990 di Stadion Tambaksari, Surabaya.

Versi lain menjelaskan pemberitaan yang berat sebelah ke salah satu tim oleh salah satu media lokal Jawa Timur menjadi penyebab.

Ketika kompetisi Indonesia terbagi menjadi dua yakni Era Perserikatan dan Galatama, Persebaya dan Arema bermain di kompetisi berbeda. Persebaya di Perserikatan, sedangkan Arema di Galatama.

Dalam kompetisi itu, kedua kelompok suporter membentuk rivalitas dengan tim lainnya.

Seperti dijelaskan Andie Peci sebelumnya, Persebaya di Perserikatan adalah rival Persema pada periode 1980-an. Sementara itu, Arema di Galatama bersaing dengan Niac Mitra Surabaya pada era akhir 1980-an hingga awal 1990-an.

Dalam perkembangannya, eksistensi Persema dan Niac Mitra semakin menurun, sementara Persebaya dan Arema semakin berkembang.

Andie menjelaskan rivalitas Persebaya dan Arema beserta kedua suporternya tumbuh di Liga Indonesia musim 1994-1995. Saat itu, kompetisi perserikatan dan galatama bergabung menjadi satu.

Sejak saat itu, intensitas pertemuan kedua tim semakin tinggi. Menurut Andie, beberapa peristiwa kecil yang terjadi di dalam dan luar lapangan juga menjadi salah satu faktor semakin panasnya rivalitas.

"Sejak Liga Indonesia berjalan bumbu-bumbu kecil muncul di antara rivalitas Persebaya dan Arema. Misalnya ketika ada orang pakai kaus Arema di sini, kena sweping. Di Malang juga begitu, sama saja. Tidak ada yang benar," kata Andie.

Lebih lanjut, Andie menyebutkan nyanyian suporter di stadion menjadi penyebab utama berubahnya rivalitas menjadi permusuhan yang bisa sampai memakan korban jiwa.

"Untuk saat ini, yang paling memicu adalah lagu suporter. Ketika Aremania menyanyikan lagu menghina Bonek dan di Surabaya, Bonek juga demikian, itulah yang memicu konflik saat ini," kata Andie.

"Itu direkam televisi dan didengar siapapun, dari anak kecil dan dewasa sehingga menyebar kemana-kemana. Itu yang sebenarnya membuat dua kubu marah," ujar Andie menambahkan

Hampir sama seperti Persija dan Persib, perpindahan pemain dari Arema ke Persebaya atau sebaliknya juga menjadi bumbu rivalitas. Nama legenda sepak bola Indonesia, Aji Santoso menjadi yang pertama muncul untuk pernyataan ini.

Aji Santoso yang merupakan putra asli Malang, menjadi ikon Arema pada periode 1988 hingga 1995 dan membawa gelar juara pada musim 1992-1993. 

Pada tahun 1995, pemain yang berposisi sebagai bek kiri ini pindah ke Persebaya. Aji Santoso kemudian juga berhasil membawa Persebaya juara pada musim 1997-1998.


Pengelolaan Sepak Bola Jadi Alasan

Jatuhnya korban jiwa dalam pertandingan sepak bola di Indonesia menjadi sorotan masyarakat luas.

Andie Peci menilai faktor utama jatuhnya korban suporter adalah karena masih bobroknya sistem pengelolaan sepak bola Indonesia. Sehingga, Andie menilai sangat tidak adil jika selalu menyalahkan suporter ketika jatuh korban.

"Konflik suporter yang terjadi tidak bisa semerta-merta menyalahkan suporter sendiri. Sepak bola nasional belum mapan dalam berbagai aspek. Membiarkan kasus-kasus kekerasan suporter, tidak adil dalam hukuman dan sanksi klub, kepemimpinan wasit masih sangat bermasalah," kata Andie.

"Jika sepak bola nasional maju dan mapan, perilaku suporter juga pasti akan baik. Itu adalah bagian dari pendidikan massa yang sangat efektif. Sepak bola Eropa juga ada rivalitas, mereka tetap selalu mementingkan kemanusiaan. Butuh sepak bola yang mapan," ujar Andie menambahkan.

Berbeda dengan Andie, pendiri Pasopati (suporter Persis Solo), Mayor Haristanto, menilai konflik yang sering terjadi antara suporter adalah karena faktor ekonomi dan pendidikan.

"Permasalahan ini harus diurai. Ada masalah kepribadian suporter di sini. Banyak suporter tidak begitu baik dalam mengenyam pendidikan rendah atau tidak bekerja. Sehingga sepak bola menjadi pelampiasan," kata Mayor Haristanto.

"Faktor pendidikan dan ekonomi sangat berpengaruh. Pendidikan terutama, karena mempengaruhi kecakapan berpikir, etika, kepribadian, sopan santun, atau menghargai orang. Pendidikan secara umum sangat berpengaruh," ujar dia menambahkan.

https://bola.kompas.com/read/2018/09/25/12585288/jejak-rivalitas-sepak-bola-indonesia-di-mata-suporter

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke