MALANG, KOMPAS.com - Team Federasi KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) yang tergabung dalam TPF Aremania menyampaikan hasil investigasi terkait Tragedi Stadion Kanjuruhan 1 Oktober 2022 lalu.
Salah satu fakta yang beberkan adalah aksi turun ke lapangan yang dilakukan Aremania usai pertandingan pekan ke-11 Liga 1 2022-2023 antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya bukanlah pemicu Tragedi Kanjuruhan. Tetapi respons dari aparat yang memantik kerusuhan.
“Setelah pertandingan selesai, sejumlah penonton turun ke lapangan. Ini adalah tradisi yang sudah biasa dilakukan,” Andi Irfan selaku Sekjen KontraS saat menyampaikan preskon di Gedung KNPI Malang, Jumat (14/10/2022) malam.
Baca juga: Mahfud MD: Kami Tidak Bisa Paksa Ketum PSSI dan Anggota Exco Berhenti
“Akan tetapi hal ini direspon dengan berlebihan dengan beragam tindak kekerasan aparat Kepolisian dan TNI. Yang kemudian dilanjutkan dengan penembakan gas air mata oleh pasukan Brimob dan Sabhara,” imbuhnya.
Fakta tersebut didapatkan dari hasil investigasi yang dilakukan selama 10 hari dengan meminta keterangan berbagai pihak. Termasuk pada saksi peristiwa didalam lapangan.
“Kami telah mengumpulkan sejumlah bukti dan mengambil keterangan dari berbagai pihak, yaitu saksi peristiwa, korban dan keluarga korban, Panitia Penyelenggara Pertandingan, petugas keamanan dalam pertandingan, Manajemen Arema FC dan sejumlah pihak lain termasuk ahli kesehatan dan forensik,” ujarnya.
KontraS juga menyebutkan ada penembakan gas air mata secara bertubi-tubi sebanyak 11 kali yang dilakukan oleh tujuh orang yang berbeda. Penembakan dilakukan dalam rentang waktu pukul 22.08 sampai 22.15.
Disebutkan pula bahwa aparat yang melakukan tindak kekerasan di bawah atas sepengetahuan perwira Polisi yang memimpin di lapangan.
Atas fakta tersebut KontraS dan TPF Aremania menyimpulkan bahwa tragedi kemanusiaan Stadion Kanjuruhan 1 Oktober 2022 bukankan kerusuhan.
“Tetapi tindak kekerasan berlebihan yang secara sengaja dilakukan oleh personil Polri dan TNI secara terstruktur dan sistematis sesuai rantai komando,” bunyi poin pertama kesimpulan investigasi TPF Aremania.
“Bahwa bentuk tindak kekerasan yang paling mematikan adalah penembakan gas air mata oleh personel Brimob dan Sabhara yang diduga kuat di bawah perintah perwira di lapangan dan sepatutnya diduga dibawah kontrol perwira tertinggi di wilayah Polda Jatim,” bunyi poin kedua.
Selain itu dalam poin keempat kesimpulan TPF Aremania menyebut bahwa kekerasan yang dilakukan aparat keamanan sudah memenuhi unsur tindak pidana penyiksaan dan pembunuhan sebagaimana dimaksud dalam pasal 351 KUHP dan pasal 338 KUHP.
“Bahwa tindakan aparat keamanan dalam peristiwa ini menunjukkan tindakan yang serangan yang meluas atau sistematik oleh aparat keamanan kepada penduduk sipil, adalah pidana Kejahatan Kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM,” bunyi poin kelima kesimpulan.
Atas itu TPF Aremania menuntun adanya pemeriksaan menyeluruh kepada perwira polisi dan jajarannya yang berhubungan dengan tragedi ini. Serta menuntut Komnas Ham untuk ikut turun tangan.
“Menuntut Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan Pro Justisia atas dugaan kejahatan kemanusiaan dalam tragedi 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan,” bunyi pernyataan sikap TPF Aremania.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.