KOMPAS.com - Klub-klub sepakbola di Indonesia mayoritas masih menggunakan anggaran pemerintah daerah. Hal ini baik, akan tetapi sudah bertahun-tahun fenomena ini terjadi. Seperti disebutkan di atas dan seperti yang terjadi pada klub-klub di Eropa, setelah dana publik, seharusnya klub-klub tersebut sudah shifting menggunakan ‘dana pribadi’, alias sudah menjadi swasta.
Klub-klub di Perancis, Belanda, Inggris, Italia, dan Jerman dapat bertransformasi dari swasembada publik menjadi swasta karena adanya liga yang baik dan menarik. Liga yang baik, akan menarik konsumen. Selanjutnya konsumen-konsumen tersebut akan bertambah setiap tahunnya, dan melakukan engagement terhadap tim kesayangannya. Itulah yang mungkin menjadi alasan Anda sebegitu relanya membeli jersey dan merchandise klub Arsenal atau Manchester United, yaitu karena anda sudah terikat secara emosi terhadap klub tersebut (Prof Dr Simon Chadwick).
Masyarakat Indonesia memiliki animo dan antusiasme yang tinggi terhadap sepak bola. Di tahun 2013 saja, ketika timnas Belanda, Chelsea, Arsenal, dan Liverpool datang ke Indonesia, masyarakat begitu antusias dan stadion GBK selalu penuh.
Antusiasme itu menunjukkan bahwa Indonesia adalah pasar potensial untuk industri sepak bola. Jujur, penulis prihatin karena antusiasme itu diakomodasi secara luar biasa oleh "produsen" sepak bola luar negeri, bukan dalam negeri.
Menurut penulis, ada beberapa langkah strategis yang harus dilakukan "produsen" sepak bola Indonesia untuk menggapai indikator-indikator ideal berikut ini: 1. Klub-klub kasta tertinggi di Indonesia telah mencapai tahap komersialisasi; 2. Partisipasi sepak bola rakyat Indonesia mencapai 5%; 3. Lapangan-lapangan sepak bola yang memenuhi standar mudah diakses oleh rakyat sipil; 4. Indonesia melakukan ekspor pemain-pemain sepak bola ke luar negeri; 5. Indonesia bermain di Piala Dunia.
Langkah pertama yang di lakukan adalah perbaikan football governance, dalam hal ini PSSI. PSSI adalah jantung dan otak dari persepakbolaan Indonesia. Jika PSSI ‘tidak beres’, tidak ‘beres’ pula sepak bola Indonesia. Oleh karenanya, PSSI perlu berbenah dan belajar dari asosiasi-asosiasi sepak bola yang lebih mapan. FA (PSSI-nya Inggris) saja tidak malu ketika mereka terang-terangan belajar dari FIGC (PSSI-nya Italia) dalam hal pengembangan markas besar tim nasional mereka, St George’s Park.
Selanjutnya, FIGC pun melakukan ‘studi banding’ ke tim manajemen Ricoh Arena (2011), dalam hal mengoptimalisasi pendapatan khusus untuk stadion-stadion di Italia yang makin sepi penonton. Di dalam langkah ini juga termasuk kepada pembenahan sistem sanksi/hukuman, strata liga professional sampai dengan amatir, dan aspek-aspek mengenai pengembangan sepak bola level junior yang konsisten.
Langkah kedua, adalah pembenahan sistem finansial di kasta tertinggi sepak bola Indonesia. Bung Kusnaeni pernah membahas bahwa pada intinya ‘harga’ yang terjadi pada persepakbolaan di Indonesia adalah ‘overpricing’. Bukan berarti tidak ingin mensejahterakan atlet, tetapi mengingat industrinya sendiri yang sangat lesu, tentu sangat berbau ‘anekdot’ jika melihat gaji-gaji pemain sepak bola di Indonesia sebegitu besarnya (terutama pemain asing). Kualitas menjadi nomor satu, sementara hal lain termasuk harga mengikuti. Faktanya, harga-harga yang terjadi di industri sepak bola Indonesia terkesan seperti ‘memaksa’.
Langkah ketiga, adalah mendorong klub-klub untuk bergerak menjadi badan yang mandiri (privat/swasta). Misi ini bisa saja direalisasikan dengan bertahap, seperti peraturan Financial Fair Play (UEFA), yang secara riil baru dilaksanakan setelah 5 tahun dari awal aturan tersebut dicanangkan (2009-2014). Tujuannya adalah agar klub-klub bersiap-siap untuk menuju realisasi dari misi privatisasi tersebut.
Keempat, standarisasi infrastruktur/ lapangan. Riset membuktikan (De Bosscher et al. 2009), bahwa semua good performers di olahraga, memiliki standar infrastruktur olahraga yang sangat baik. Lapangan sepak bola di Indonesia jarang sekali memiliki kontur tanah yang ideal (rata). Brasil, negara yang termasuk dalam negara berkembang, memiliki standar lapangan sepak bola yang ideal. Selain itu, jumlah lapangan sepak bola yang ideal tersebut harus ditambah dan mudah untuk diakses oleh publik. Merajalelanya lapangan sepak bola di Indonesia, akan berdampak positif terhadap partisipasi, yang selanjutnya akan menambah "suplai" pemain sepak bola berbakat.
Memang, biaya maintenance lapangan sepak bola tidak lah murah, untuk menyiasati kendala ini, pemerintah bisa memberi porsi lebih kepada pembangunan lapangan sepak bola sintetis. Di Inggris, lapangan sepak bola sintetis pun sangat banyak sehingga tingkat partisipasi rakyat Inggris terhadap sepak bola meningkat rata-rata 5% setiap tahunnya.
Langkah kelima, \meningkatkan kinerja pelatih-pelatih sepak bola. Pemerintah bisa saja mengadakan program beasiswa bagi masyarakat untuk mendapat pendidikan kepelatihan ke luar negeri, dan harus dalam jumlah yang signifikan (banyak). Pelatih yang berkualitas melahirkan pemain yang berkualitas.
Dalam salah satu tulisannya, pelatih Timo Scheunemann pernah menyebutkan bahwa Jepang secara agresif mendidik dan mengirim pelatih-pelatih sepak bolanya ke luar negeri dalam jumlah ribuan untuk mendapatkan ilmu kepelatihan tingkat tinggi. Dan, terbukti, sepak bola Jepang saat ini sangat luar biasa. Menurut beberapa pengamat, di dalam sepak bola dan olahraga lainnya, pelatih berpengaruh secara sangat sangat signifikan terhadap prestasi.
Langkah terakhir adalah membangun dan membina koneksi dengan agen-agen sepak bola di luar negeri (terutama Eropa), sehingga pemain-pemain sepak bola kita bisa diimpor oleh klub-klub Eropa, Jepang, Korea Selatan, ataupun Australia.
Seperti pendapat Irman Jayawardhana, seorang lulusan MSc Sport Management Coventry University, agen pemain memegang peranan penting dalam memediasi lajur distribusi pemain antar negara, dan Indonesia belum secara optimal menyadari faedah peran agen-agen ini. Oleh karena itu, peran agen pemain harus secara intensif ditingkatkan oleh Indonesia, karena merekahlah sebenarnya ujung tombak untuk memasarkan pemain-pemain Indonesia di luar negeri.
"Tidak ada yang instan kecuali mie instan", begitulah kata pepatah anekdot yang terkenal. Semua harus dilakukan secara konsisten, bertahap, dan dengan jangka waktu yang rasional. Mimpi agar Indonesia dapat bermain di Piala Dunia bukanlah sesuatu yang mustahil, akan tetapi sebelum mengangan-angankan mimpi tersebut, ada baiknya Indonesia berkaca terlebih dahulu. Dunia ini adalah ‘alam rasio’, semuanya dapat terjadi di dunia, asal ada alur logis yang dapat diterima dengan akal. Demi sepakbola Indonesia, semoga para regulator sepakbola di Indonesia memahami alur-alur logis tersebut guna mencapai prestasi sepakbola yang kita damba-dambakan. (Tamat)