Kebijakan PSSI era sekarang yang aktif memburu pesepak bola berdarah Indonesia yang berkompetisi di luar negeri tentulah dapat kita golongkan strategi jangka pendek.
Untuk dapat segera keluar dari "penjara Asia Tenggara" dan bersaing di Asia, jalan pintas yang dipilih adalah membangun kompetisi antara pemain produk dalam negeri dengan pesepak bola berdarah Indonesia yang ada di luar negeri, terutama Eropa.
Bila kemudian yang menang dari kompetisi internal ini pemain naturalisasi atau diaspora, mereka adalah pemain nasional Indonesia. Kontribusi dan penampilan mereka yang menjadi penilaian, bukan fisik atau bahasa yang berbeda.
Kebijakan shortcut alias jalan pintas ini memang kemudian menguji kemampuan pemain kita beradaptasi akibat waktu yang singkat, perbedaan bahasa, dan pemahaman bermain sepak bola.
STY mendapatkan opsi amunisi lebih banyak untuk membentuk timnas setelah 2 tahun pertama bertugas yang disebutnya sulit akibat pandemi Covid-19.
Pelatih asal Korea Selatan ini harus mencari cara cepat membangun chemistry antara pemain yang berkompetisi di dalam negeri dengan yang di luar negeri.
Saya pun sangat berharap pada kelancaran Bahasa Indonesia pria berusia 53 tahun yang sudah memasuki tahun ke-4 berstatus pelatih timnas agar memudahkan ia berkomunikasi dengan anak asuhnya untuk membangun perasaan saling terhubung.
Strategi jangka pendek ini tidak hanya menimbulkan euforia, puja-puji, dan harapan tinggi pencinta sepak bola Indonesia. Sesuatu yang wajib diwaspadai STY adalah embusan angin "mabuk pujian" yang dapat menghentikan perjalanan timnas ke level Asia.
Semoga, strategi jangan pendek yang sedang dijalankan PSSI tidak melupakan kebijakan jangka menengah dan jangka panjang.
Kita boleh berharap Garuda asuhan Shin Tae-yong terbang tinggi. Namun, pembangunan sepak bola lewat berbagai aspek harus ikut bergerak mengikuti keputusan memberi tempat di timnas kepada pemain naturaliasi dan diaspora.
Kita semua setuju, (seharusnya) tak ada pemain sepak bola di dunia ini yang tidak ingin membela tim nasional negaranya.
Untuk dapat bersaing dengan saudara-saudaranya yang dipanggil dari luar negeri, level dan kualitas sepak bola di dalam negeri haruslah terus ditingkatkan.
Bagaimana caranya? Tentu mereka yang terlibat dalam organisasi resmi sepak bola di negeri ini sudah sangat paham. Dimulai dari pembangunan infrastruktur sepak bola yang merata, pembinaan usia muda berkualitas, hingga kompetisi berjenjang yang profesional menuju industri sepak bola.
Semua itu ada dalam perencanaan jangka menengah dan panjang. Tinggal bagaimana menggerakkan berbagai unsur terkait sesuai irama dari konduktor sepak bola di negeri ini agar tidak terlena dengan euforia saat ini.
Ingat, membangun sepak bola di negeri ini tak bisa hanya dilakukan oleh PSSI sendiri.
Saya kerap memberi perumpamaan memakai rantai, tali dari kumpulan cincin yang berkaitan. Strategi jangka pendek itu ibarat satu mata rantai yang ditarik sehingga membuat gelang-gelang lain pada rantai ikut bergerak sesuai arah tarikan.
Suka atau tidak suka, strategi jangka pendek dengan mengandalkan pemain naturaliasi dan diaspora sudah dijalankan oleh Shin Tae-yong dan PSSI. Euforia mulai bangkit di setiap tapak yang dilewati timnas.
Pekerjaan rumah bagi PSSI dan seluruh stakeholder sepak bola di negeri ini adalah menjaga agar mata rantai bernama strategi jangka menengah dan jangka panjang juga ikut bergerak seiring euforia akibat kebijakan jangka pendek. Targetnya tentu peningkatan kualitas sepak bola di dalam negeri.
Jangan sampai kebijakan ini tersia-sia dan membunuh mimpi pesepak bola muda kita untuk membela Tim Garuda akibat tak mampu bersaing dengan saudaranya yang baru mulai menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.