Pelatih Indonesia Alfred Riedl mengakui Thailand tim terbaik dan lebih segalanya dari Indonesia. Bagi Riedl, sulit menjadi juara dalam kondisi tak ideal, yakni baru keluar dari sanksi FIFA, kompetisi resmi mati, waktu mepet membentuk tim, dan tidak leluasa akibat klub cuma mau menyumbang maksimal dua pemain.
Lawan di final adalah Thailand yang bermain dalam level lebih tinggi, persiapan amat matang, lebih kuat dalam teknik, stamina, dan postur tubuh.
”Kami tidak bisa memenetrasi jantung pertahanan mereka dan menciptakan gol,” katanya dalam jumpa pers seusai laga.
Tetap diapresiasi
Apresiasi tetap mengalir untuk tim Garuda yang telah melampaui ekspektasi publik dengan lolos ke final.
”Kami kecewa. Namun, kiprah timnas mengesankan. Dalam situasi yang tak ideal di mana kompetisi terhenti, kita dibekukan (FIFA), dan pemain untuk timnas hanya dibatasi dua (per klub), kita bisa ke final. Pemain menunjukkan semangat luar biasa. Semoga ini bisa berlanjut,” ujar Ketua Paguyuban Suporter Timnas Indonesia Ignatius Indro di Jakarta, Sabtu malam.
Ponaryo Astaman, mantan kapten tim nasional Indonesia yang juga Presiden Asosiasi Pesepak Bola Profesional Indonesia (APPI), meminta para yuniornya tidak berkecil hati atas kekalahan di Thailand.
”Itu menunjukkan tidak ada prestasi diraih dengan cara instan. (Sepak bola) Thailand bisa seperti sekarang ini karena sistem pembinaan mereka konsisten dan berkesinambungan. Itu yang harus mulai dilakukan di Indonesia. Jadikan ini batu loncatan, momentum perbaikan menuju prestasi,” ujarnya.
Ia menambahkan, sepak bola bukanlah semata soal laga 2 x 45 menit. Menurut Ponaryo, banyak faktor di luar laga yang justru sangat berpengaruh terhadap hasil pertandingan atau prestasi timnas. Ia mencontohkan perlunya kompetisi berkualitas yang bisa berjalan teratur serta pembinaan pemain berjenjang sejak usia dini, yaitu delapan tahun.
”Harus ada desain besar bagaimana menyatukan kualitas sepak bola sejak usia delapan tahun hingga level senior. Tidak boleh ada perbedaan. Seperti di Thailand, apa pun generasinya, siapa yang bermain, mereka bisa berprestasi karena konsistensi itu. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah besar federasi (PSSI),” tutur Ponaryo.