BANGKOK, KOMPAS.com - Kegagalan Indonesia meraih trofi Piala AFF Suzuki 2016 setelah kalah 0-2 dari Thailand pada laga kedua final, Sabtu (17/12/2016), bukan akhir perjalanan Tim Garuda. Sebaliknya, itu bisa menjadi pelecut dan batu loncatan meraih prestasi ke depan asal didukung pembinaan berkesinambungan.
Meski tampil dengan daya juang maksimal pada laga kedua final di Stadion Rajamangala, tim nasional Indonesia belum mampu mematahkan dominasi Thailand dan mewujudkan mimpi rakyat Indonesia menggenggam trofi supremasi sepak bola Asia Tenggara itu. Indonesia takluk dengan agregat gol 3-2 pada laga puncak Piala AFF Suzuki 2016.
Dua gol kemenangan Thailand diborong penyerang Siroch Chatthong pada menit ke-37 dan menit ke-47.
Thailand berpeluang menambah gol saat Indonesia dihukum tendangan penalti pada menit ke-81. Namun, eksekusi oleh kapten dan penyerang Teerasil Dangda digagalkan kiper Kurnia Meiga.
Meski gagal mencetak gol pada laga pamungkas, Teerasil tetap pencetak gol terbanyak dengan enam gol.
Walau kalah dan gagal menjadi juara, Indonesia tetap diapresiasi oleh hampir 50.000 penonton di Rajamangala.
Seperti dilaporkan wartawan Kompas, Ambrosius Harto, dari Bangkok, pendukung Thailand mengelu-elukan Indonesia saat kapten Boaz Solossa dan kawan-kawan menerima medali dan berjalan untuk menyapa pendukung Indonesia di tribune W2.
Pendukung Thailand juga mengelu-elukan suporter Indonesia dengan teriakan dan tepuk tangan menyemangati. Meski, laga itu ternoda tindakan kurang sportif bek Abduh Lestaluhu sehingga diusir dari lapangan di pengujung laga.
Pelatih Indonesia Alfred Riedl mengakui Thailand tim terbaik dan lebih segalanya dari Indonesia. Bagi Riedl, sulit menjadi juara dalam kondisi tak ideal, yakni baru keluar dari sanksi FIFA, kompetisi resmi mati, waktu mepet membentuk tim, dan tidak leluasa akibat klub cuma mau menyumbang maksimal dua pemain.
Lawan di final adalah Thailand yang bermain dalam level lebih tinggi, persiapan amat matang, lebih kuat dalam teknik, stamina, dan postur tubuh.
”Kami tidak bisa memenetrasi jantung pertahanan mereka dan menciptakan gol,” katanya dalam jumpa pers seusai laga.
Tetap diapresiasi
Apresiasi tetap mengalir untuk tim Garuda yang telah melampaui ekspektasi publik dengan lolos ke final.
”Kami kecewa. Namun, kiprah timnas mengesankan. Dalam situasi yang tak ideal di mana kompetisi terhenti, kita dibekukan (FIFA), dan pemain untuk timnas hanya dibatasi dua (per klub), kita bisa ke final. Pemain menunjukkan semangat luar biasa. Semoga ini bisa berlanjut,” ujar Ketua Paguyuban Suporter Timnas Indonesia Ignatius Indro di Jakarta, Sabtu malam.
Ponaryo Astaman, mantan kapten tim nasional Indonesia yang juga Presiden Asosiasi Pesepak Bola Profesional Indonesia (APPI), meminta para yuniornya tidak berkecil hati atas kekalahan di Thailand.
”Itu menunjukkan tidak ada prestasi diraih dengan cara instan. (Sepak bola) Thailand bisa seperti sekarang ini karena sistem pembinaan mereka konsisten dan berkesinambungan. Itu yang harus mulai dilakukan di Indonesia. Jadikan ini batu loncatan, momentum perbaikan menuju prestasi,” ujarnya.
Ia menambahkan, sepak bola bukanlah semata soal laga 2 x 45 menit. Menurut Ponaryo, banyak faktor di luar laga yang justru sangat berpengaruh terhadap hasil pertandingan atau prestasi timnas. Ia mencontohkan perlunya kompetisi berkualitas yang bisa berjalan teratur serta pembinaan pemain berjenjang sejak usia dini, yaitu delapan tahun.
”Harus ada desain besar bagaimana menyatukan kualitas sepak bola sejak usia delapan tahun hingga level senior. Tidak boleh ada perbedaan. Seperti di Thailand, apa pun generasinya, siapa yang bermain, mereka bisa berprestasi karena konsistensi itu. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah besar federasi (PSSI),” tutur Ponaryo.
Setali tiga uang, Indra Sjafri, pelatih yang membawa ”Garuda Muda” atau timnas U-19 menjuarai Piala AFF 2013, juga menekankan pentingnya pembinaan pesepak bola berkelanjutan sejak usia dini.
”Janganlah hanya terfokus kepada timnas senior. Justru masa depan (sepak bola Indonesia) ada pada pemain muda,” tuturnya.
Dengan pembinaan usia muda yang berkualitas, diharapkan bisa menumbuhkan level kompetitif di tubuh tim Garuda sendiri. PSSI pun harus mampu memfasilitasi tumbuh berkembangnya bibit-bibit berbakat Tanah Air.
”Jadi, para (pemain) senior yang ada saat ini tidak bisa stagnan. Mereka harus terus memacu diri karena sewaktu-waktu bisa digusur adik-adiknya. Perhatian pada usia muda ini, kan, baru muncul setelah kesuksesan timnas U-19 (di 2013),” papar Ponaryo Astaman.
Presiden Joko Widodo mendukung penuh perjuangan pemain tim nasional Indonesia, Sabtu (malam. Saat pertandingan, Presiden bersama keluarganya ikut menyaksikan pertandingan kedua final di Istana Merdeka Jakarta. Adapun Wakil Presiden Jusuf Kalla nonton bareng bersama wartawan di kediaman dinasnya di Jalan Diponegoro.
Jangan patah arang. Ambil pelajaran atas kekalahan. Timnas Indonesia tetaplah semangat -Jkw
— Joko Widodo (@jokowi) December 17, 2016
Seusai final, Presiden menyemangati via akun Twitter-nya. ”Jangan patah arang. Ambil pelajaran atas kekalahan Timnas Indonesia, tetaplah semangat,” demikian cuitan Presiden Joko Widodo.
Dukungan juga mengalir dari kalangan TNI. Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigadir Jenderal Muhammad Sabrar Fadhilah menambahkan, untuk mendukung tim nasional berlaga di Bangkok, TNI memberangkatkan keluarga pemain. Selain keluarga kapten tim Boaz Solossa dari Jayapura ke Jakarta, juga keluarga pemain lainnya menuju Bangkok, Jumat (16/12).
Versi cetak artikel ini terbit di Harian KOMPAS edisi 18 Juli 2016 pada halaman pertama dengan judul "Momentum Benahi Kompetisi".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.