Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 12/06/2014, 20:28 WIB


Oleh: 
KOMPAS.com
 - FIFA mendaur ulang tradisi lama dengan menempatkan tuan rumah—bukan juara bertahan—tampil dalam partai pembuka Piala Dunia 2006 di Jerman. Selama delapan kali Piala Dunia, sejak Jerman 1974 hingga Korea Selatan-Jepang 2002, juara bertahanlah yang mendapat kehormatan itu.

Bagi sebagian kalangan, juara bertahan semestinya diberikan kesempatan ketimbang tuan rumah. Sebab, dalam kontes jenis apa pun, naluri kita mengatakan, ingin menikmati tontonan sempurna sang pemegang mahkota yang berjalan di atas catwalk sekaligus bertindak sebagai curtain raiser.

Pada 9 Juni 2006, di Allianz Arena, Muenchen, Jerman, tim ”Panser” mengandaskan Kosta Rika, 4-2, dalam partai pembuka yang membuat rakyat Jerman bersukacita. Empat tahun kemudian, giliran tuan rumah Afrika Selatan bermain imbang 1-1 dalam partai pembuka yang membosankan melawan Meksiko di Stadion Soccer City, Johannesburg, 11 Juni 2010.

Sebelum 2006, tuan rumah terakhir yang turun di partai perdana terjadi pada Piala Dunia Meksiko 1970, melanjutkan tradisi Inggris 1966. Sebelum itu, enam Piala Dunia (Uruguay 1930, Italia 1934, Perancis 1938, Swiss 1954, Swedia 1958, dan Cile 1962) dibuka dengan berbagai kombinasi partai perdana.

Tahun 1930 malah bukan tuan rumah Uruguay yang turun, melainkan Perancis melawan Meksiko. Tahun 1934, 1938, 1954, dan 1958, pertandingan pembuka melibatkan sedikitnya empat partai yang berlangsung simultan pada jam yang sama. Cuma pada 1950 sang tuan rumah Brasil tampil mencukur Meksiko 4-0 di pertandingan perdana.

Dalam delapan kali Piala Dunia periode 1974-2002, juara-juara bertahan terlibat pertandingan dramatis di partai-partai pembuka. Dari delapan partai itu, dua juara bertahan bahkan terjungkal, yakni Argentina pada 1982 dan 1990 dan Perancis pada 2002. Tiga juara bermain imbang, yakni Brasil pada 1974, Jerman Barat pada 1978, dan Italia pada 1986. Hanya dua juara bertahan yang menang di laga pembuka: Brasil pada 1998 dan Jerman Barat pada 1994.

Dari tiga partai saat juara bertahan takluk, dua dialami Argentina. Tim ”Tango” menyerah 0-1 dari Belgia di partai pembuka di Barcelona, Spanyol, pada 1982, dan dikalahkan Kamerun, juga 0-1, pada 1990 di Milan, Italia. Uniknya, Diego Maradona ikut beraksi di kedua partai itu. Pada 1982, ia sebagai debutan dan pada 1990 sudah menjadi kapten.

Saat dikalahkan Belgia di Nou Camp, Barcelona, 13 Juni 1982, terjadi peristiwa menarik yang terekam foto dan video pertandingan. Ada adegan Maradona mau mengoper umpan terobosan di luar kotak penalti Belgia. Anda bisa cari peristiwa itu lewat Google dengan kata kunci ”Maradona Belgium”.

Anda akan melihat wajah enam pemain Belgia yang terkesima sekaligus waspada menunggu gerakan Maradona. Ini untuk mengilustrasikan fenomena dunia yang amat terpesona pada Maradona. Dia superstar yang mungkin lahir hanya sekali dalam 1.000 tahun. Dia bintang Piala Dunia Yunior di Jepang 1977, tetapi tak disertakan pelatih Luis Menotti ke Piala Dunia 1978 karena dinilai masih hijau.

Keputusan Menotti itu membuat rakyat Argentina berang. Untung tahun 1978 Argentina jadi juara. Lalu, Maradona disertakan ke Spanyol 1982, seperti hanya untuk dipermalukan sampai kausnya ditarik sampai robek oleh Claudio Gentile dan diganjar kartu merah saat melawan Brasil.

Drama Maradona belum berakhir. Seperti misi balas dendam, ia ibarat seorang diri membawa negerinya menjadi juara pada 1986. Inilah prestasi yang sampai kini belum disamai bintang-bintang mana pun.

Namun, di Stadion Giuseppe Meazza di Milan, 8 Juni 1990, Kamerun mempermalukan Argentina. Kamerun, tim ”Singa Pemberani”, itu menaklukkan sang juara 1986 lewat gol tunggal Omam Biyik. Inilah partai yang disebut sebagai ”Keajaiban di Milan” karena Kamerun bisa menjungkalkan juara bertahan.

Kunci sukses Kamerun adalah melumpuhkan Maradona yang, ibaratnya, lebih sering ”horizontal daripada vertikal”, alias dirobohkan sampai terguling-guling berkali-kali. Sejak 1982, sepak bola dunia memang sering mempersaksikan Maradona ”digulingkan” siapa saja. Misalnya, saat menyaksikan partai Argentina-Korsel di Mexico City (Meksiko), 2 Juni 1986, saya mencatat 55 kali pelanggaran keras terhadap Maradona. Kamerun akhirnya mencetak rekor: tim Afrika pertama yang lolos ke perempat final sebelum disingkirkan Inggris 2-3. Seperti Argentina, juara bertahan Perancis juga dipermalukan tim Afrika, Senegal, 0-1, dalam partai perdana di Seoul (Korsel), 31 Mei 2002. Peringkat prestasi Benua Afrika langsung meroket mendekati negara-negara Eropa dan Amerika Latin.

Kutukan 1950

Saat turun di partai perdana, Jumat (13/6) pukul 03.00 WIB, menjamu Kroasia, Brasil, ibaratnya, bukan cuma tuan rumah. Oleh sebagian media, pengamat, rumah taruhan, dan penggemar, ”Selecao” bahkan dianggap sudah pasti akan jadi juara. Di atas kertas tak akan ada negara lain yang dianggap mampu menahan laju Brasil, termasuk tiga favorit Argentina, Jerman, dan Spanyol.

Mereka sudah melakukan ”uji coba” menjadi juara di negeri sendiri ketika menaklukkan Spanyol 3-0 di Piala Konfederasi 2013. Walau tidak mempunyai playmaker yang memadai dan minus o jogo bonito (sepak bola indah), tim asuhan Luiz Felipe Scolari alias ”Felipao” ini mungkin tidak akan sukar menundukkan Kroasia, Meksiko, dan Kamerun, tiga lawan di Grup A.

Tak perlu diragukan, Brasil di atas kertas akan terus melaju sampai ke final. Tidak perlu terkejut, kalau benar sampai ke final, jadwal Piala Dunia 2014 ”sudah diatur” bahwa Neymar dan kawan-kawan akan bertemu Argentina—dengan asumsi tim ”Tango”, yang konon dipimpin ”Maradona baru” bernama Lionel Messi, juga tak mengalami kesulitan melangkah sejak babak penyisihan grup.

Jika berbicara tentang skenario ini, memori kolektif rakyat Brasil langsung berpaling ke pengalaman buruk pada 1950. Negara dan bangsa Brasil menghabiskan dana, tenaga, dan waktu untuk menjadi tuan rumah sekaligus menjadi juara Piala Dunia 1950. Mereka menunggu giliran sejak 1938 dan sempat kecewa gagal jadi tuan rumah pada 1942 dan 1946 karena penyelenggaraan Piala Dunia terganggu Perang Dunia Kedua.

Sesuai skenario, Brasil tampil prima sejak partai perdana mengalahkan Meksiko 4-0 di Stadion Maracana, Rio de Janeiro, 24 Juni 1950. Setelah itu ”Selecao” bermain seri 2-2 melawan Swiss, menaklukkan Yugoslavia 2-0 serta menghancurkan Swedia 7-1 dan Spanyol 6-1. Apa lacur, di final yang juga di Maracana yang disesaki sekitar 200.000 penonton, Brasil dikalahkan Uruguay 1-2.

Kutukan 1950 itulah yang coba diusir Brasil. Mungkin di partai perdana mereka mengatasi Kroasia, lalu perjalanan sampai final akan lancar, sampai akhirnya menghadapi tim sesama Amerika Selatan—barangkali Argentina. ”Negara saya bahagia kalau menundukkan Brasil. Mereka juga begitu! Tak ada hal yang lebih indah dibandingkan mengalahkan Brasil,” kata Maradona suatu kali.

Budiarto Shambazy
Wartawan Kompas, Peliput di 5 Piala Dunia

Sumber: Kompas Cetak

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Hasil Final Piala Thomas 2024: Ginting Takluk dari Shi Yu Qi, Indonesia 0-1 China

Hasil Final Piala Thomas 2024: Ginting Takluk dari Shi Yu Qi, Indonesia 0-1 China

Badminton
Alasan di Balik PSM Tak Konsisten Sepanjang Liga 1 2023-2024

Alasan di Balik PSM Tak Konsisten Sepanjang Liga 1 2023-2024

Liga Indonesia
Courtois Kembali Main Bela Real Madrid, Catat Clean Sheet

Courtois Kembali Main Bela Real Madrid, Catat Clean Sheet

Liga Spanyol
Line Up dan Link Live Streaming Final Piala Thomas 2024 Indonesia Vs China

Line Up dan Link Live Streaming Final Piala Thomas 2024 Indonesia Vs China

Badminton
Run The City Medan Diikuti 1.000 Pelari, Usung Konsep Point to Point

Run The City Medan Diikuti 1.000 Pelari, Usung Konsep Point to Point

Liga Indonesia
Greysia Polii Bangga Tim Uber 2024, Angkat Perempuan Indonesia

Greysia Polii Bangga Tim Uber 2024, Angkat Perempuan Indonesia

Badminton
Bangga Bisa Tampil di Final, Siti/Ribka Akui Keunggulan Ganda China

Bangga Bisa Tampil di Final, Siti/Ribka Akui Keunggulan Ganda China

Badminton
Hasil Final Piala Uber 2024: Ester Kalah, Indonesia Runner-up

Hasil Final Piala Uber 2024: Ester Kalah, Indonesia Runner-up

Badminton
Cetak Sejarah, Girona akan Main di Liga Champions untuk Pertama Kali

Cetak Sejarah, Girona akan Main di Liga Champions untuk Pertama Kali

Liga Spanyol
Top Skor Liga Inggris: Cetak Quattrick, Haaland Teratas dengan 25 Gol

Top Skor Liga Inggris: Cetak Quattrick, Haaland Teratas dengan 25 Gol

Liga Inggris
Inter Miami Vs NYRB: Messi 5 Assist dan Menggila, Pecahkan 2 Rekor MLS

Inter Miami Vs NYRB: Messi 5 Assist dan Menggila, Pecahkan 2 Rekor MLS

Liga Lain
Maarten Paes Tahan Penalti Bernardeschi tetapi Kena Gol Kelas Dunia

Maarten Paes Tahan Penalti Bernardeschi tetapi Kena Gol Kelas Dunia

Timnas Indonesia
Hasil Final Uber Cup 2024: Siti/Ribka Kandas 2 Gim Langsung, Indonesia 0-2 China

Hasil Final Uber Cup 2024: Siti/Ribka Kandas 2 Gim Langsung, Indonesia 0-2 China

Badminton
Real Madrid Juara Liga Spanyol, Luka Modric Ukir Sejarah Langka

Real Madrid Juara Liga Spanyol, Luka Modric Ukir Sejarah Langka

Liga Spanyol
Hasil Final Piala Uber 2024: Gregoria Kalah, Indonesia Tertinggal 0-1 dari China

Hasil Final Piala Uber 2024: Gregoria Kalah, Indonesia Tertinggal 0-1 dari China

Badminton
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com