Pro League atau liga sepak bola di UEA dibentuk pada 2008. Lalu, namanya diganti menjadi Arabian Gulf League pada Mei lalu, meski pesertanya hanya klub dari UEA. Sejauh ini, menurut Smith, profesionalisme telah membawa perbaikan dalam teknik dan kebugaran pemain. Namun, kemajuan sepak bola UEA belum berpengaruh di kompetisi Asia.
"Akan butuh waktu. Jepang butuh 20 sampai 30 tahun untuk membangun liga mereka. Kami sudah berusaha dengan baik dalam lima tahun terakhir," ujarnya.
Klub UEA, Al Ain, pernah menjadi juara Liga Champions Asia pada 2003. Dua tahun kemudian mereka menjadi runner-up. Tetapi, sejak 2007, tak satu pun klub asal UEA yang mampu lolos ke babak knock-out Liga Champions Asia.
"Kekurangan kami adalah rendahnya penghasilan dari tiket. Ini menjadi masalah di UEA. Kami mencoba merangsang orang untuk lebih banyak datang ke stadion dengan memberi tiket gratis. Tetapi, butuh waktu untuk perubahan," kata Ketua Al Ahli, klub asal Dubai.
"Memperbaiki lapangan dan stadion akan memancing banyak penonton, tetapi mengharapkan pendapatan besar butuh waktu lebih lama," tandas Naboodah.
Dengan kekuatan uangnya, UEA memang melakukan invasi besar-besaran di sepak bola Eropa. Invasi mereka juga membuat klub yang ditangani menjadi lebih besar. Namun, sepak bola di negeri sendiri masih tertatih-tatih, belum mampu mengambil hati rakyatnya. Bahkan, pada kondisi sekarang, orang UEA masih lebih suka terhadap sepak bola Eropa daripada sepak bola dalam negeri.
Sehingga, investasi uang di sepak bola Eropa masih sebatas mendatangkan keuntungan ekonomi, pengaruh, dan citra buat UEA, tetapi belum berdampak positif buat sepak bola mereka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.