Selain faktor kualitas pemain, ada lagi kunci keberhasilan dalam mengembangkan taktik tiki-taka, yaitu ukuran lapangan sepak bola. Media Inggris, Backpage Football, membeberkan alasan mengapa Liverpool kerap kesulitan memainkan tiki-taka di Stadion Anfield.
Ukuran Stadion Anfield yang hanya 101 x 68 meter, ternyata tak sesuai dengan gaya bermain tiki-taka. Bandingkan dengan ukuran markas Swansea, Stadion Liberty, dan kandang Barcelona, Camp Nou, yang memiliki ukuran mencapai 105 x 68 meter.
Sepintas perbedaan panjang empat meter itu serasa menggelikan, tetapi detail itu ternyata sangat krusial.
Namun, pada filosofi tiki-taka, memang perlu banyak ruang untuk berkreasi. Pasalnya, lagi-lagi, umpan satu-dua antarpemain lebih banyak digunakan sepanjang pertandingan. Untuk penyelesaian akhirnya, butuh ruang bagi pemain menyelinap masuk ke daerah musuh. Itulah kunci mengapa ukuran lapangan bisa berhubungan erat dengan gaya bermain tiki-taka.
Liverpool kesulitan saat menjamu Stoke City pada 7 Oktober silam. Gaya bermain Stoke yang mengumpulkan banyak pemain di daerah sendiri membuat ruang Luis Suarez dan kawan-kawan sangat sedikit. Hasil tanpa gol menjelaskan sendiri kesulitan para pemain Liverpool berkreasi menembus tembok kokoh "The Potters".
Masalah Belakang dan Depan
Masih banyak pekerjaan yang harus dikembangkan Rodgers kalau ingin memainkan filosofi tiki-taka di Liverpool. Tugas para pemain belakang harus lebih spesifik.
Legenda hidup Liverpool, Bruce Grobbelaar, pernah mengkritik pemain-pemain belakang Liverpool kala takluk dari Udinese di Liga Europa. Menurut kiper dari Afrika Selatan itu, kumpulan bek "The Reds" seperti lupa akan tugas utamanya sebagai pemain bertahan, yakni mengamankan bola dari ancaman lawan.
"Apakah Rodgers mengintruksikan pemain belakang untuk tak menekel di kotak penalti? Bagaimana bisa Antonio Di Natale men-juggling bola di dalam kotak penalti sebelum mengumpan kepada Giovanni Pasquale yang akhirnya mencetak gol. Para bek seharusnya merebut dan membuang bola tersebut," kritik Grobbelaar.
Taktik baru yang dikembangkan Rodgers tak bisa disalahkan sebagai biang keladi buruknya performa Liverpool saat ini. Beberapa hasil negatif sebenarnya bisa terhindar jika Liverpool memiliki barisan depan yang tajam.
Statistik musim ini membuktikan, Liverpool berada di urutan ke-4 dalam hal melakukan rata-rata usaha tendangan ke gawang lawan dengan rasio 18,1 usaha tembakan per laga. Lebih tinggi ketimbang milik Arsenal, MU, ataupun Chelsea. Dari jumlah tersebut, "The Reds" hanya mampu mencetak gol 1,3 per pertandingan.
Liverpool hanya membukukan 32 persen tendangan tepat ke arah gawang lawan. Usut punya usut, akurasi tersebut adalah yang terburuk di antara seluruh kontestan Premier League musim ini.
Raksasa pinggir Sungai Mersey itu memang terlalu bergantung pada ketajaman Luis Suarez. Striker-striker seperti Raheem Sterling, Suso, Adam Morgan, maupun Samed Yesil, masih terlalu muda. Kala beban Suarez sedikit ringan dengan kedatangan Fabio Borini, musibah terjadi. Borini harus absen lama karena cedera.
Jika sudah begini, Rodgers harus cepat-cepat mengoptimalkan tiki-taka di Liverpool. Atau jika mau, Rodgers bisa berkreasi menggunakan strategi lain yang lebih efektif dan efisien. Cara itu merupakan solusi instan paling manjur ketimbang menunggu kebangkitan Liverpool dengan tiki-taka yang butuh banyak waktu. Terlambat memanfaatkan peluang, era Rodgers bisa-bisa hanya seumur jagung di Anfield kalau masih berkeras menggelar taktik teka-tekinya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.