Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PSSI, KPSI, dan Bola Panas Kompetisi

Kompas.com - 14/09/2012, 07:16 WIB

Sejumlah klub ISL murka. Mereka tidak terima bergabung bersama klub "kemarin sore", Jakarta FC, yang dibentuk PSSI. Ketua Umum Persija Jakarta, Ferry Paulus, menilai, setiap klub ISL dapat mencapai ke level tertinggi, karena melalui tahapan-tahapan. Karena itu, dia menyayangkan, keputusan PSSI tersebut. "Jadi, seharusnya ada proses promosi dan degradasi," kata Ferry.

Lebih aneh lagi, PSSI terkesan arogan dengan keputusan memberikan "tiket gratis" kepada enam tim untuk tampil di kasta tertinggi. Keenam tim itu, diantaranya, PSM Makassar, Persema Malang, Persibo Bojonegoro, PSMS Medan, Persebaya Surabaya, dan Bontang FC. Tiga tim yang disebut terakhir bahkan tidak berkompetisi pada strata tertinggi pada musim sebelumnya. Kaidah dasar dan logika kompetisi benar-benar dijungkir balikan oleh PSSI.                            
                          
Alasan yang dilontarkan PSSI mengatrol enam tim tersebut juga terkesan sangat tidak berdasar, karena cenderung memakai pertimbangan subyektif, seperti nama besar, sejarah, dan yang paling konyol, adalah permintaan sponsor.

Seiring perjalanan, PSSI melunak. Mereka berkali-kali menggagas rekonsiliasi dengan klub peserta ISL saat kompetisi tersebut bergulir. Akan tetapi, nasi sudah jadi bubur, karena ISL menolak mentah-mentah tawaran rekonsiliasi tersebut. Mereka tak lagi mengakui kepengurusan PSSI Djohar.

Kompetisi

Akhirnya, IPL dan ISL berjalan sendiri-sendiri. Dalam pelaksanaannya, kedua kompetisi terkesan asal jalan. Banyak kasus klasik terjadi dalam pelaksanaan kompetisi. IPL diwarnai beberapa pertandingan yang gagal digelar dan banyak klub mengalami krisis.

Bukti nyata, pemain Bontang FC harus makan nasi bungkus akibat dampak krisis finansial yang melanda klub asal Kalimantan Timur tersebut. Mereka juga sempat mogok bermain menuntut gaji yang belum dipenuhi oleh manajemen selama setengah tahun lebih.

Krisis finansial, kisruh pertandingan, dan budaya kekerasan dalam sepak bola menjadi pemandangan yang belum sirna di ISL. Berdasarkan data yang dihimpun Asosiasi Pemain Profesional Indonesia (APPI), Deltras Sidoarjo, Sriwijaya FC, Persija Jakarta, Pelita Jaya, dan Arema Malang pernah menunggak gaji pemain.

Kekisruhan acap kali juga terjadi dalam pertandingan ISL. Pada 13 Mei lalu, penonton dan suporter Persipura bentrok dengan pihak keamanan setelah tim kebanggaannya kalah 0-1 dari Persija Jakarta di lapangan Mandala Jayapura. Bahkan, pemain Persija sempat adu jotos dengan pemain Sriwijaya FC di hotel beberapa waktu lalu.

Dengan serangkaian kasus-kasus yang terjadi, sudah semestinya penyatuan kompetisi baru digagas dengan konsep yang mantap. Artinya, persoalan seperti krisis finansial tidak terjadi lagi.

Memang, tak mudah bagi sebuah klub untuk menjalani sebuah kompetisi. Dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Klub Pelita Jaya, misalnya, harus menggelontorkan dana kurang lebih Rp 25 miliar dalam semusim. Dana yang dikucurkan dari keluarga Bakrie menjadi tumpuan karena dana yang didapatkan dari pihak sponsor dan pendapatan tiket tidak memadai.

"Dana sebesar itu termasuk membiayai gaji pemain dan seluruh staf. Berdarah-darah untuk mengikuti kompetisi. Pendapatan tiket bahkan minus karena lebih besar biaya panpel termasuk keamanan," ungkap Manajer Pelita, Lalu Mara.

Alangkah baiknya, sebelum memutar kompetisi, para klub diberi bekal ilmu, bagaimana cara mendapatkan dana secara mandiri. Kemudian, membenahi segala aspek sehingga persoalan klasik tidak terus-menerus terjadi.

Sangat disayangkan, sepak bola Indonesia jika dikelola secara serampangan. Pasalnya, kompetisi akan bermuara terhadap prestasi sepak bola Indonesia. Bukan itu saja. Bangsa ini juga terkenal gila sepak bola.

Lima tahun lalu sebuah penelitian dari sebuah lembaga survei ternama di London, TNS Sport, mengungkapkan sepak bola menjadi olah raga rakyat yang sulit ditandingi oleh olah raga apapun. Dari hasil penelitian TNS Sport berdasarkan responder berusia 15-54 tahun tersebut, dengan koefisien angka tertinggi 100, sepak bola berada di peringkat pertama dengan 88. Di bawahnya, bulutangkis yang berada di peringkat kedua hanya mencapai koefisien angka 49.

Karena itu, sudah saatnya kedua belah pihak yang bertikai rujuk untuk membenahi sepak bola. Pemain terutama para pecinta sepak bola sudah muak dengan episode panjang kekisruhan Tanah Air.
                        
Kapan?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com