Soal pembinaan, kita bisa lihat perbedaan keseriusan dua negara tersebut. Selama satu dekade, ratusan juta dolar dikeluarkan Federasi Sepak Bola Jerman (DFB) untuk pembinaan usia dini. DFB pun juga mengajukan perubahan UU Imigrasi. Dengan konsep liberalisasi kependudukan, anak muda imigran akan mendapat kemudahan untuk mendapatkan paspor Jerman. Cara ini sangat menguntungkan timnas Jerman, karena otomatis investasi pemain muda akan terjadi.
Sementara, Yunani hanya bisa gigit jari. Kebangrutan ekonomi sejak lima tahun terakhir, menyebabkan seretnya perkembangan roda kompetisi. Hal itu kemudian berimbas pada Investasi pembinaan menjadi sangat minim yang membuat kompetisi tidak berkembang dengan baik.
Dalam beberapa puluh tahun terakhir, Yunani akhirnya kekurangan bakat alami pesepakbola. Buktinya dapat dilihat di Piala Eropa kali ini. Para pemain yang sudah dipenghujung karier, seperti Karagounis, Kostas Chalkias, dan Kostas Katsouranis masih terus dipakai. Maka wajar, mereka pun dipandang sebagai tim sepak bola lapis dua di Eropa.
Harapan dan mimpi
Melihat sejumlah fakta itu, maka wajar jika Jerman sangat berharap mampu mengalahkan Yunani dan memanen hasil kerja kerasnya tersebut di Piala Eropa tahun ini. Apalagi, revolusi semangat pantang menyerah, kualitas fisik, telah dileburkan dengan kehebatan teknik ibarat strategi "Blitzkrieg". Kerinduan memegang trofi Eropa yang hilang sejak 1996 nantinya juga akan menjadi semangat tersendiri bagi skuad muda "Der Panzer".
Namun, jangan lupa, 20 tahun silam, tidak ada satupun orang menaruh uangnya di bandar judi saat Denmark meraih Piala Eropa 1992. Belum lagi, ketika tim lapis dua, Cekoslowakia mampu menghempaskan Jerman, yang notabennya salah satu raksasa Eropa pada 1976. Paling "aneh" adalah kejutan yang ditorehkan Yunani sendiri saat mampu meraih trofi dengan permainan menjemukan pada 2004.
Belum lagi, aroma politik zona Euro begitu kental pada Piala Eropa kali ini. Yunani bisa saja berkesempatan untuk balas dendam atas "penghinaan" Kanselir Jerman, Angela Merkel. Ucapan Merkel yang menyebutkan orang Yunani malas dan enggan mengecangkan ikat pinggang terkait krisis Eropa, bisa jadi berubah menjadi motivasi juang tersendiri bagi skuad "Galanolefkii" di lapangan.
Walhasil, tak salah jika motivasi itu dikhawatirkan oleh Jerman. Sudah banyak bukti bahwa politik dan sepak bola ibarat darah dan daging dalam kehidupan. Pelatih Jerman, Joachim Loew, menegaskan akan tetap mewaspadai semangat juang lawannya tersebut. Meski menolak dikaitkan dengan politik, Yunani, kata dia, bukanlah tim yang bisa dianggap sebelah mata. "Kami harus fokus dan tidak boleh meremehkan mereka," kata Loew.
Bagaimana dengan Yunani? Meski tidak diunggulkan, sangat wajar jika tim asuhan Fernando Santos itu optimistis meraih kemenangan. Keagungan sejarah besar mereka, akan menjadi air sungai Heraclitus yang mengalir ke seluruh benak penggawa Yunani. Laiknya kebijakan tua para filsuf Athena bahwa tidak ada kepastian abadi di dunia, mereka tetap yakin segalanya bisa terjadi dalam sepak bola.
"Panta rhei kai uden menei (semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal tetap)" - Heraclitus (550-480 SM)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.