Namun, ketika tiba di pentas putaran final, Inggris keok di tiga laga babak grup. Di Grup 2 ketika itu, Inggris kalah 1-3 dari Belanda dan Uni Soviet, serta 0-1 dari tim yang bukan termasuk kesebelasan elite Eropa, Irlandia. Hasil itu di luar dugaan pengamat dan pers Inggris karena tim St George Cross, yang waktu itu dilatih Bobby Robson, diperkuat bintang seperti kiper Peter Shilton, kapten Bryan Robson, dan striker Gary Lineker.
Dalam kesimpulannya di buku tersebut, Kuper dan Szymanski berpendapat, keberuntungan berperan amat besar dalam sejarah persepakbolaan Inggris. Disebutkan pula, nyaris tiada beda antara performa tim Inggris yang tampil ”cemerlang” dan yang ”memalukan”. Dengan kata lain, Inggris seolah-olah selalu tampil sama baik dari waktu ke waktu. Kenyataan yang pasti akan digugat pendukung setianya.
Sulitnya Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) mengukur performa tim nasional mereka salah satunya karena kecenderungan perilaku manik-depresif dalam mendukung tim Inggris. Negeri itu bisa berubah suasana hatinya dari amat memuja menjadi sangat kecewa.
Pada malam kekalahan dari Kroasia dalam laga kandang November 2007, suasana hati pendukung Inggris terpuruk dalam kekecewaan. Namun, pada 2009, mayoritas pendukung Inggris memuja tim nasionalnya.
Saat itu, tim asuhan Fabio Capello menggilas lawan-lawannya di kualifikasi Piala Dunia 2010. Inggris, antara lain, mengalahkan Kroasia 4-1 di Zagreb dan 5-1 di London. Orang-orang Inggris pun mulai berangan-angan, Inggris berlaga di final Piala Dunia 2010. Lagi-lagi mimpi yang gagal terwujud karena Inggris tersingkir di 16 besar, kalah 1-4 di tangan Jerman. Kali ini, di mana tim asuhan Hodgson mengakhiri penampilan? Semua bergantung pada aksi mereka sendiri.