Sejumlah saksi mata yang selamat dari pembantaian melukiskan kejadian di Stadion Port Said malam itu sungguh mengerikan. Polisi hanya berdiam saat para pendukung tim yang menang membantai pendukung tim yang kalah. Padahal, jelas-jelas pendukung Al-Masry melakukan penusukan, dan bahkan ada yang melemparkan pendukung Al Ahly dari stadion. Meski demikian, korban tewas kebanyakan lantaran terinjak-injak saat menyelamatkan diri dari amukan pendukung klub tuan rumah, sementara pintu besi stadion terkunci rapat.
Parlemen kemudian menuding menteri dalam negeri lalai meskipun sampai kini masih menjadi spekulasi, apa sebenarnya penyebab kerusuhan pendukung sepak bola itu.
Ada yang meyakini kerusuhan itu dipicu ulah provokasi yang dilakukan oleh sisa-sisa pendukung pemerintahan presiden tersingkir, Hosni Mubarak, yang mencoba melakukan sabotase terhadap upaya transisi Mesir menuju demokrasi.
Sejak awal pertandingan, suasana sudah terasa sengit. Ultras, pendukung tim tamu Al Ahly, sempat mengangkat bentangan spanduk yang mengejek pendukung tuan rumah, dengan tulisan ”Port Said kota Sampah, tidak punya laki-laki”. Spanduk itu kemudian segera dicopot.
Ultras, pendukung Al Ahly, selama ini memang dikenal antipolisi, aparat yang menjadi tulang punggung keamanan pemerintahan otoriter Mubarak.
Selama bertanding pun, Ultras sering mengumpat dengan kata-kata kotor dan lagu-lagu bernada ”antipolisi Mesir”.