Kairo, Kompas
Tuduhan parlemen Mesir tersebut akan membuka jalan bagi pemecatan Mendagri Ibrahim Yusuf atau menyeretnya ke pengadilan.
Meski demikian, Mendagri Ibrahim Yusuf dalam acara talk show dengan tema ”Mesir Memilih” pada televisi swasta CBC, Kamis malam lalu, mengungkapkan, Kementerian Dalam Negeri Mesir telah mendapat informasi bahwa ada kekuatan tertentu yang mencoba mendobrak dan membakar gedung kementerian dalam negeri.
Ia menegaskan, undang-undang memberi hak untuk melindungi gedung kementerian dalam negeri dan gedung negara lainnya dari serangan atau ancaman.
Namun, opini umum yang berkembang di Mesir meyakini ada skenario yang mengatur pembantaian kota Port Said. Bahkan, keyakinan itu mencapai tingkat bahwa pembantaian tersebut telah diatur untuk balas dendam terhadap ikatan pendukung klub Al Ahly yang berada di garis depan dalam mendukung revolusi Mesir yang menjatuhkan rezim mantan Presiden Hosni Mubarak, setahun silam.
Publik juga menolak tindakan jaksa penuntut umum yang hanya menyeret Gubernur Port Said, kepala keamanan kota itu, dan asosiasi sepak bola Mesir untuk diperiksa. Publik menuntut mereka segera diadili.
Anggota parlemen dari daerah pemilihan kota Port Said, Al-Badri Farghali, mengatakan, ada kejanggalan besar sebelum pertandingan klub Al Ahly dan Al Masry. Ia menuduh kendaraan dari wilayah luar kota Port Said bisa masuk tanpa pemeriksaan sama sekali atas orang-orang dan barang-barang yang dibawa kendaraan itu.
Farghali mengatakan, ada pihak-pihak tertentu yang tidak menginginkan terciptanya stabilitas di Mesir. Ia juga menuduh masih ada anggota asosiasi sepak bola Mesir yang loyalis rezim mantan Presiden Hosni Mubarak.
Harian Misri al Youm mengungkapkan, pembantaian kota Port Said telah diatur sejak 10 hari lalu. Harian itu mengklaim memiliki data tentang elemen-elemen kekuatan tertentu yang merancang dan melaksanakan aksi pembantaian kota Port Said itu.
Kerusuhan itu sendiri bermula setelah klub tuan rumah, Al-Masry, di luar dugaan memenangi pertandingan 3-1 atas tim yang berkandang di Kairo, Al-Ahly, klub terkuat di Mesir. Para pendukung Al-Masry kemudian menyerbu lapangan, menerjang barisan pengamanan polisi, serta menyerbu pendukung klub yang kalah, Al Ahly.
Sejumlah saksi mata yang selamat dari pembantaian melukiskan kejadian di Stadion Port Said malam itu sungguh mengerikan. Polisi hanya berdiam saat para pendukung tim yang menang membantai pendukung tim yang kalah. Padahal, jelas-jelas pendukung Al-Masry melakukan penusukan, dan bahkan ada yang melemparkan pendukung Al Ahly dari stadion. Meski demikian, korban tewas kebanyakan lantaran terinjak-injak saat menyelamatkan diri dari amukan pendukung klub tuan rumah, sementara pintu besi stadion terkunci rapat.
Parlemen kemudian menuding menteri dalam negeri lalai meskipun sampai kini masih menjadi spekulasi, apa sebenarnya penyebab kerusuhan pendukung sepak bola itu.
Ada yang meyakini kerusuhan itu dipicu ulah provokasi yang dilakukan oleh sisa-sisa pendukung pemerintahan presiden tersingkir, Hosni Mubarak, yang mencoba melakukan sabotase terhadap upaya transisi Mesir menuju demokrasi.
Sejak awal pertandingan, suasana sudah terasa sengit. Ultras, pendukung tim tamu Al Ahly, sempat mengangkat bentangan spanduk yang mengejek pendukung tuan rumah, dengan tulisan ”Port Said kota Sampah, tidak punya laki-laki”. Spanduk itu kemudian segera dicopot.
Ultras, pendukung Al Ahly, selama ini memang dikenal antipolisi, aparat yang menjadi tulang punggung keamanan pemerintahan otoriter Mubarak.
Selama bertanding pun, Ultras sering mengumpat dengan kata-kata kotor dan lagu-lagu bernada ”antipolisi Mesir”.