Warung nasi kucing dan warung PKL berada di sektor ekonomi subsisten, sedangkan mewakili sektor modern yang padat modal dan teknologi adalah restoran, kafe, atau rumah makan.
Kedua sektor tersebut memiliki sedikit hubungan dan saling ketergantungan serta mengembangkan diri masing-masing menurut pola sendiri.
Menjamurnya mal atau pusat perbelanjaan modern di perkotaan, misalnya, selalu saja dibarengi dengan menjamurnya warung makan kelas PKL dan warung nasi kucing.
Investasi di sektor modern seperti mal yang padat modal selalu menyimpan ratusan pekerja kerah biru, yang rata-rata bergaji standar UMK atau malah di bawahnya.
Para pekerja dengan upah minimalis inilah yang menghidupi para PKL dan pemilik warung nasi kucing di belakang dan lorong-lorong bangunan mal. Dengan gaji pas-pasan, tampaknya pilihan mereka amat sedikit. Warung nasi kucing salah satu pilihannya.
Bagi pakar tata kota Universitas Diponegoro, Semarang, Prof Eko Budihardjo, PKL dan warung nasi kucing merupakan bagian tak terpisahkan dari wajah perkotaan di Indonesia, termasuk di Kota Semarang.
Ia menyatakan, ketika investor hendak membangun pusat perkantoran dan pusat perbelanjaan, dalam waktu bersamaan mereka harus memikirkan sektor pendukung lain karena sebagian besar orang yang berada di dalam bangunan modern itu hanya sanggup makan di warung PKL.
"Pedagang kaki lima tidak mungkin dihapuskan dari wajah kota karena mereka juga dibutuhkan orang-orang yang bekerja di pusat perkantoran modern dan mal," kata Eko, Jumat (8/4/2011).
Upaya realistis dan humanis yang bisa dilakukan oleh pemerintah kota, menurut dia, menata PKL dengan menyediakan lahan khusus tanpa mengganggu ketertiban dan keindahan wajah kota.
Dualisme ekstrem sektor ekonomi modern dan tradisional, yang di perkotaan diwakili oleh mal dan perkantoran modern di satu sisi, serta PKL dan warung nasi kucing di sisi lainnya, sepertinya tidak bakal hilang sepanjang kesenjangan masih lebar.
Indeks Gini Indonesia pada 2010 berdasarkan catatan Badan Pusat Statitik berada pada angka 0,33 poin, sedangkan beberapa negara mampu menekan kesenjangan pendapatan hingga indeks Gini mereka hanya berkisar 0,2 poin.
Jumlah mal, hypermarket, restoran, hotel berbintang, dan kafe di kota-kota besar terus bermunculan sebagai penanda terus berderaknya modernitas, tetapi di sisi sama warung "nasi kucing" juga terus "mengeong" di balik gemerlap cahaya kota.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.