Tahun lalu, ia menulis makalah tentang "Peranakan Tionghoa dan Negara" untuk seminar di Singapura. Bulan Mei seharusnya ia menghadiri seminar International Society for the Study on Chinese Overseas di Singapura, tetapi tidak pergi karena baru kembali dari AS. "Myra Sidharta pergi dan menulis paper. Dia hebat, usianya 83 tahun," ujar Mely.
Sampai hari ini, Mely masih bekerja sampai tengah malam. Tulisannya bertema "I have a dream" baru selesai, dipersiapkan untuk antalogi tulisan para tokoh berusia di atas 78 tahun. Tanggal 1–6 Juli dia ke Batam untuk pertemuan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).
Sebagai anak ketiga dari lima bersaudara—ayahnya adalah generasi kelima imigran China di Indonesia, bekerja sebagai akuntan di perusahaan Belanda—tradisi intelektual di dalam keluarga tumbuh berkat dukungan ibunya.
"Saya selalu bangun pukul enam pagi, tetapi hari ini kesiangan he-he-he...," ujarnya melalui telepon, suatu pagi, sekitar pukul 07.30. Setiap Sabtu, ia bangun pukul 05.00 dan pukul 05.15, melakukan senam tera bersama tetangga.
Kalau ulang tahun ke-70 diisi kejutan para sahabat dengan perhelatan di Gedung Erasmus Huis, ulang tahun ke-80 diisi dengan syukuran oleh teman-temannya di PMP-LIPI.
Petang itu kami membicarakan berbagai hal; dari soal poligami sampai demokrasi dan kepemimpinan. Berbeda dengan pandangan umum, Mely tidak terjebak dalam notion "benar-salah".
"It takes two to tango," ujarnya, "Jujur saja, selama ada perempuan yang mau punya separuh, sepertiga, seperempat suami, akan selalu ada laki-laki yang mau ngibuli istrinya untuk kawin lagi. Sekarang, bahkan anak muda, yang tahu aspirasi kesetaraan, mau juga berpoligami. Dulu kita anggap itu sisa-sisa kebudayaan lama."
Oleh karena itu, "Orangtua harus membuat anak perempuannya mandiri, tidak tergantung sama laki-laki kalau menikah, bukan karena kekhawatiran ditinggal suami," ujarnya, "Kemandirian memberikan kekuatan dan kepercayaan diri kepada perempuan untuk menghadapi apa pun yang mungkin terjadi."
Mely melihat ada pengaruh faktor demografi terhadap poligami. "Kalau jumlah perempuan usia menikah lebih banyak daripada laki-laki, gagasan ’perempuan harus dilindungi’ akan mendorong poligami."
Namun, asumsi demografi itu bisa patah. Ketika jumlah perempuan dan laki-laki usia menikah berimbang, tetap ada perempuan muda, berpendidikan, mandiri, bisa cari nafkah sendiri, tahu arti kesetaraan, mau menikahi laki-laki beristri.