Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terima Kasih, Mandela

Kompas.com - 11/06/2010, 03:52 WIB

OLEH ARIF SUSANTO

Sama sekali tidak berlebihan untuk menyatakan bahwa bukan hanya Afrika Selatan, melainkan juga dunia patut berterima kasih kepada Nelson Rolihlahla Mandela. Sang tokoh yang juga akrab disapa Madiba tersebut sedikitnya telah melakukan dua hal besar untuk Afrika Selatan dan dunia.

Pertama, Mandela tidak mungkin dipisahkan dari perjuangan untuk penghapusan praktik diskriminasi ras, apartheid, yang sesungguhnya merupakan bagian dari masalah kemanusiaan universal. Kedua, Mandela adalah bagian dari suatu upaya besar untuk membuat sepak bola terbebas dari rasisme dan membuat penyelenggaraan Piala Dunia FIFA sungguh-sungguh mengglobal (bukan semata fenomena Eropa dan Amerika).

Dalam pernyataan yang disampaikan secara terpisah, Makhenkesi Stofile (Menteri Olahraga dan Pariwisata Afrika Selatan) dan Irvin Khoza (Ketua Komite Penyelenggara Lokal Piala Dunia FIFA 2010) sama-sama menyebut upaya untuk menyelenggarakan Piala Dunia di Afrika Selatan ini sebagai suatu ”perjalanan panjang nan berliku”. Gambaran ini sungguh serupa dengan catatan perjuangan Mandela untuk melawan sistem politik apartheid yang disebutnya sebagai ”perjalanan panjang menuju kebebasan”.

Rekonsiliasi nasional

Gagasan untuk menggelar Piala Dunia di Afrika Selatan muncul pada 1994. Gagasan ini pada awalnya, tentu saja, dipandang sebagai suatu kekonyolan. Ini mirip dengan keyakinan Mandela bahwa Afrika Selatan mampu menjadi juara Piala Dunia Rugbi ketika tahun 1995 negeri yang baru terbebas dari rezim apartheid ini menjadi tuan rumah. Ia menjadikan momen Piala Dunia Rugbi 1995 sebagai momentum untuk rekonsiliasi nasional.

Mandela mendorong warga kulit hitam Afrika Selatan mendukung tim nasional rugbi Afrika Selatan, Springboks, yang semula dibenci warga kulit hitam. Berkat persuasi dan inspirasi Mandela, tim rugbi Afrika Selatan yang semula lemah akhirnya tampil sebagai juara dunia menaklukkan tim tangguh Selandia Baru. Kisah ini ditulis menjadi buku The Human Factor: Nelson Mandela and the Game That Change the World oleh John Carlin yang tahun lalu diangkat menjadi film Invictus oleh sutradara Clint Eastwood. Dunia menyaksikan kenegarawanan Mandela merujukkan warga kulit hitam dan Afrikaner (warga kulit putih).

Pada 1996, Persatuan Sepak Bola Afrika Selatan (SAFA) mulai mempersiapkan pengajuan untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2006. Impian SAFA itu memperoleh dukungan dari Presiden Mandela (1994-1999) dan dari Presiden FIFA Sepp Blatter yang antusias dengan gagasan menggelar Piala Dunia di Benua Afrika. Serangkaian kampanye lantas dilakukan SAFA untuk membujuk dan meyakinkan persatuan sepak bola di sejumlah negara dan FIFA. Afrika Selatan bernegosiasi.

Puluhan tahun sebelumnya, Mandela berkeyakinan bahwa ”hanya manusia-manusia merdeka yang mampu bernegosiasi”. Keyakinan itu mendorong Mandela untuk memperjuangkan kesetaraan dan kebebasan bagi warga Afrika Selatan. Keyakinan itu pula yang membawa Mandela pada pengadilan yang tidak adil serta membuatnya berpindah-pindah dari Penjara Robben Island, Penjara Pollsmoor, dan Penjara Victor Verster selama sekitar dua puluh tujuh tahun. Berulang kali rezim apartheid menawarkannya kebebasan dengan syarat warga berkulit hitam menghentikan perlawanan dengan kekerasan, Mandela membalas: ”Kebebasan macam apa yang ditawarkan kepadaku ketika saudaraku sesama warga Afrika Selatan tidak dihargai?” (2002:118). Alih-alih mendorong meluasnya kekerasan, ”berbicara dengan lawan” telah menjadi keahlian mantan pengacara ini untuk menegosiasikan perubahan tatanan.

Mimpi Afrika Selatan sementara kandas ketika akhirnya Jerman, dengan selisih suara 12 banding 11, diputuskan menjadi penyelenggara Piala Dunia 2006. Diceritakan oleh Khoza bahwa delegasi Afrika Selatan yang kecewa oleh keputusan tersebut lantas mendatangi Mandela yang menyemangati, ”Anak-anak, bangkit dan bertarunglah kembali.” Mandela mendorong agar Afrika Selatan mencalonkan diri kembali, sementara sebagian orang telah kehilangan harapan. Hal ini menunjukkan mentalitas kepemimpinan yang kuat sebagaimana tertulis dalam biografinya, ”Ada kalanya seorang pemimpin berbeda dengan kawanannya, bergerak ke suatu arah baru, merasa pasti bahwa dirinya sedang memandu kalangannya ke arah yang tepat (2002:120).”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com