Lebih memprihatikan, DPR sebagai wakil wajib pajak malahan justru memberikan pendelegasian wewenang yang luas kepada pemerintah untuk dapat mengatur pengenaan pajak, termasuk untuk mengatur obyek dan tarif efektif pajak. Padahal, siapa yang harus dikenakan pajak, objek apa yang harus dikenakan pajak, berapa besar tarif pajak, dan dasar pengenaan pajak harus diatur dengan undang-undang. Tidak ada pajak yang dapat dipungut tanpa adanya persetujuan wajib pajak melalui wakilnya di parlemen (no taxation without representation).
Akibat pendelegasian wewenang yang tidak mempunyai rambu-rambu ini, hak para pembayar pajak untuk dapat terlibat,
Pendelegasian wewenang pada peraturan yang tingkatnya di bawah undang-undang hanya diperbolehkan dalam penyelenggaraan administrasi pajak.
Sehubungan dengan besarnya wewenang yang diberikan oleh undang-undang kepada pemerintah untuk mengatur pengenaan pajak, seharusnya pemerintah dalam merumuskan kebijakan perpajakan melibatkan wajib pajak yang terkena dampak dari kebijakan tersebut dapat dimintai pendapat dan persetujuannya.
Kalau ini dilakukan, tingkat resistensi dari wajib pajak dapat diperkecil. Dampaknya, upaya judicial review ke Mahkamah Agung tidak akan sering terjadi dan tentu juga akan mengurangi konflik sengketa pajak antara
Terkait dengan menumpuknya perkara sengketa pajak yang ada saat ini di Pengadilan Pajak, yaitu sebesar 9.700-an kasus, bisa jadi disebabkan karena faktor di atas. Selain itu, perlu dicari jawaban, mengapa kasus sengketa pajak yang masuk ke Pengadilan Pajak mencapai angka sebesar tersebut? Pertanyaan lain, mengapa pula sebagian besar sengketa pajak pada tingkat keberatan di Direktorat Jenderal Pajak ditolak, tetapi ketika diputuskan di tingkat banding sebagian besar diterima oleh Pengadilan Pajak.
Untuk mendapatkan jawaban yang terbaik dari pertanyaan tersebut adalah dengan cara membuka putusan pengadilan pajak kepada publik. Dengan demikian, masyarakat dapat menilai fakta dan argumentasi hukum setiap pihak yang bersengketa. Di samping itu, dengan membuka putusan pengadilan pajak, masyarakat dapat mengawasi sengketa pajak tersebut sehingga akan menutup peluang oknum untuk ”bermain.” Keterbukaan putusan pengadilan pajak ini telah dilakukan di banyak negara, seperti Belanda, Inggris, Jerman, dan Singapura.
Ke depan, dalam mengukur kinerja Direktorat Jenderal Pajak, hendaknya pencapaian target penerimaan pajak bukan menjadi ukuran utama. Dalam praktik, beban target penerimaan pajak menjadi beban psikologis bagi aparat pajak untuk dapat merealisasikannya. Ini diperparah lagi apabila target penerimaan pajak tersebut kurang realistis.
Oleh karena itu, kinerja Direktorat Jenderal Pajak sebaiknya diukur dari kualitas pelayanan yang diberikan kepada wajib pajak. Pelayanan yang baik diyakini akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Kepatuhan wajib pajak yang tinggi dengan sendirinya akan meningkatkan penerimaan pajak.