Rencananya, di bawah Cungkup Surya Majapahit itu akan dipamerkan sejumlah koleksi PIM yang belum banyak terekspos. Pengunjung juga bisa berjalan di atas ubin kaca dan melihat langsung struktur bangunan Majapahit yang berada di bawahnya.
Lebih dahsyat
Kepala Museum Trowulan Aris Soviyani mengatakan, kerusakan situs Trowulan akibat industri rakyat pembuatan batu bata justru jauh lebih hebat. ”Selama bertahun-tahun, tak ada solusi terhadap persoalan itu,” ujarnya.
Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata menunjukkan, sekitar 6,2 hektar lahan di situs Trowulan rusak setiap tahunnya untuk pembuatan batu bata rakyat.
Masyarakat menggali tanah untuk pembuatan batu bata karena tak ada penghasilan alternatif. Masyarakat juga berharap saat menggali tanah bisa menemukan benda-benda bersejarah yang kemudian bisa dijual.
Secara terpisah Made Kusumajaya mengatakan, selama berpuluh-puluh tahun, situs sejarah Majapahit seolah hanya menjadi milik komunitas arkeolog. Situs itu hanya digali dengan metode tertentu untuk kemudian ditutup lagi dengan alasan konservasi.
Ia menekankan, sebagai seorang arkeolog, dia tidak bisa terlalu egoistis dengan keinginan tunggal untuk tetap terus mempertahankan situs sejarah itu tidak diketahui orang banyak.
Tiru proyek Borobudur
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef yang pernah memimpin proyek UNESCO memugar Candi Borobudur, yang ditemui Minggu, menyesalkan adanya pembangunan fisik yang merusak situs Trowulan. ”Trowulan merupakan salah satu bukti kita memiliki nenek moyang dengan peradaban tinggi tidak kalah dengan bangsa-bangsa di Eropa,” katanya.
Menurut Joesoef, seharusnya pola konservasi Borobudur yang menggandeng UNESCO dapat diterapkan untuk Trowulan. Proyek Borobodur tahun 1978-1983 yang didukung UNESCO mampu mengalahkan usulan proyek konservasi Mohenjo Daro di Pakistan dan konservasi Venesia, Italia, kala diajukan dengan serius oleh Pemerintah Indonesia.